Direktur Indo Barometer M Qodari mendorong agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menhan Prabowo Subianto menjadi pasangan calon pada Pilpres 2024 melawan surat suara kosong. Namun, mungkinkan Undang-undang yang berlaku memungkinkan skenario ini?
Menanggapi skenario ini, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menjelaskan bahwa semangat UU No 7 Tentang Pemilu memiliki semangat menolak muncul satu paslon dalam Pilpres. Hal ini tertuang dalam Pasal 229. Begini bunyi pasalnya:
Pasal 229
(2) KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal: pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon.
Titi mengungkap bahwa Pasal ini membuat partai politik yang mengusung paslon capres baru bisa diterima pendaftarannya jika masih memungkinkan partai lain mengusung paslon.
“Jadi kalau dilihat dari Pasal ini, partai politik yang mengusung calon itu baru bisa diterima pendaftaran pasangan calonnya kalau masih memungkinkan partai politik lain untuk mengusung pasangan presiden dan wakil presiden yang lain. Jadi semangatnya sebenarnya UU No 7 2017 tidak menghendaki adanya pasangan calon tunggal. Atau hanya satu pasangan calon yang menjadi peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden,” ungkap Titi kepada wartawan, Selasa (13/4/2021).
Kendati demikian, Titi menyebut bahwa UU 7/2017 ini masih memungkinkan paslon capres cawapres hanya satu. Hal ini tertuang dalam Pasal 235:
Pasal 235
(4) Dalam hal hanya terdapat 1 (satu) Pasangan Calon, KPU memperpanjang jadwal pendaftaran Pasangan Calon selama 2 (dua) x 7 (tujuh) hari.
(5) Dalam hal partai politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi syarat mengajukan Pasangan Calon tidak mengajukan bakal Pasangan Calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti Pemilu berikutnya.
Merujuk pada Pasal ini, ada konsekuensi yang harus diterima oleh parpol jika tak mengusung paslon capres padahal mereka mampu. Parpol yang tak mengusung paslon capres dikenai sanksi tak bisa menjadi menjadi peserta pemilu di periode selanjutnya.
“Jadi pasal 235 ini pada intinya kalau aada partai politik yang belum mengusung pasangan calon sementara partai politik itu bergabung dia bisa mengusung pasangan calon maka partai-partai politik itu dikenai sanksi di pemilu berikutnya,” tuturnya.
“Mau tidak mau, partai politik itu harus mengusungkan pasangan calon. Di sinilah potensi terjadinya kongkalikong,” lanjutnya.
Meskipun UU 7/2017 memberi celah untuk tersedianya satu paslon capres, Titi menilai skenario ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Sebab, Indonesia merupakan negara demokrasi yang menganut sistem multipartai.
“Tapi sekali lagi preseden buruk bagi demokrasi kita, mengingat kita yang multipartai, perjuangan reformasi, ruang insklusif sangat anomali dan kemunduran kalau di tengah keragaman politik kita, bangsa besar, pemilih besar, partai politik yang multipartai tapi calonnya hanya satu pasangan calon,” ujarnya.
Lihat Video: Direktur Indo Barometer Sebut Jokowi-Prabowo di 2024 Jadi Solusi