SA, bapak 3 anak di Luwu Timur yang dilaporkan atas kasusu pencabulan terhadap ketiga anak kandungnya jadi trending topic. Polisi ikut jadi sasaran dianggap tidak becus tangani kasus. Esensi kasus dan kebenarannya terkalahkan oleh viralnya narasi kasus ini di media sosial.
Jakarta – (12/10/21). Kapolres Luwu Timur AKBP Silvester MM Simamora menemui ibu tiga anak yang menjadi korban dugaan pemerkosaan oleh ayahnya. Polisi berjanji akan melanjutkan kasus tersebut hingga tuntas. Ibu korban, RA, mengatakan rombongan Kapolres Luwu Timur datang ke kediamannya pada Jumat (8/10) sore. Mereka membicarakan kasus yang sempat dilaporkan sebelum penyelidikannya dihentikan pada 2019.
“Barusan rombongan pak kapolres ke rumah ketemu saya langsung. Iya, mau dilanjut ini kasus,” kata RA. Dalam pertemuan itu, kata RA, semua yang menjadi kendala proses penyelidikan kasus pencabulan tersebut akan ditindaklanjuti kembali oleh Polres Luwu Timur.
“Semua yang jadi masalah kemarin kenapa kasus ini ditutup, akan ditindaklanjuti sama kapolres baru,” ujarnya. Selain itu, Kapolres Luwu Timur juga meminta untuk segera menghadirkan bukti-bukti dalam kasus dugaan pemerkosaan tersebut agar segera dibuka kembali penyelidikannya.
“Cuma konfirmasi kasus kemarin dan meminta kalau ada bukti-bukti supaya bisa diperlihatkan di kantor juga. Biar kalau lengkap buktinya nanti langsung ditindaklanjuti dibawa ke Polda Sulsel dan juga Mabes Polri,” jelasnya.
Walaupun pertemuan itu dilaksanakan di kediaman korban, kata RA, ketiga anaknya tidak ikut dalam pertemuan tersebut karena sedang beristirahat sehabis pulang sekolah.
“Kebetulan mereka datang anak-anak masih tidur. Karena anak saya harus selalu tidur siang setiap mereka pulang dari sekolah biar mereka fit,” ujarnya.
Kasus ini diusut sejak Oktober 2019 silam dan telah dihentikan kepolisian karena dianggap tidak cukup bukti. Pelaku yang berinisial SA dilaporkan oleh mantan istrinya, RA setelah diduga memperkosa anak kandungnya sendiri yang kala itu masih berusia di bawah 10 tahun.
Dugaan Hoaks
Pihak kepolisian mengklaim berita yang ditayangkan projectsmultatuli.org terkait kasus pemerkosaan tiga anak oleh bapaknya di Luwu Timur itu tidak benar atau hoaks. Berita yang ditayangkan projectsmultatuli.org berjudul: Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi. Polisi Hentikan Penyelidikan. Berita itu viral di semua platform media sosial dan banyak ditanggapi netizen. Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan mengatakan berita yang viral itu sama sekali tidak benar.
“Jelas hoaks dong, ini judulnya anak saya diperkosa, padahal ini kan tidak diperkosa bahkan dicabuli pun tidak bagaimana dia bisa bilang diperkosa,” katanya. “Anak ini umur tiga tahun masa diperkosa, lima tahun, tujuh tahun. Bahasanya sudah keliru kan, dia tahu dari mana diperkosa,” sambungnya.
Oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial SA yang dilaporkan atas kasus dugaan pencabulan terhadap ketiga anak kandungnya di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada tahun 2019 silam, berencana akan mengambil hak asuh ketiga anaknya. SA diketahui juga sempat melaporkan mantan istrinya ke pihak kepolisian atas kasus dugaan pencemaran baik. Pelaporan dilakukan SA setelah tuduhan mencabuli anaknya ramai di media sosial.”Kemarin tujuan saya pelaporan balik kan, setelah berjalan mungkin saya jadikan dasar untuk masuk pengadilan untuk hak asuh. Hanya saja viral lagi, yah mungkin saya selesaikan dulu ini,” kata SA saat berada di Makassar, Sabtu (9/10).
SA menerangkan,sewaktu dirinya akan melaporkan ibu dari ketiga anaknya sempat diberikan beberapa pertimbangan, salah satunya kondisi kejiwaan mantan istrinya.
”Karena kemarin dikasih pertimbangan bahwa ini kan ada masalah penyakit kejiwaan. Jadi kemungkinan hasilnya di pengadilan tetap minta di penjara atau apalah terkait hukuman toh. Tetapi alasannya lainnya juga bahwa saya pernah hidup bersama,” jelasnya.
Saat berada di Makassar, kata SA dirinya juga sempat mendatangi Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Makassar yang pernah menangani ketiga anaknya pada Desember 2019 lalu untuk berkonsultasi tentang perlindungan anak yang diasuh dengan orang yang mengalami kelainan kejiwaan.
”Tadi juga saya ke perlindungan anak mempertanyakan tanggung jawab bagaimana perlindungan anak terhadap anak diasuh orang-orang yang ada kelainan, iya tadi (di Makassar), hanya mencari konsultasi kebetulan saya ada di Makassar. Jadi saya mempertanyakan bagaimana upaya perlindungan anak terhadap pemberitaan, ini kan psikologi anak terganggu nanti, kalau sudah dewasa. Jadi harus diantisipasi itu,” ungkapnya.
SA juga meminta seluruh masyarakat agar tidak langsung menyimpulkan kasus yang dilaporkan mantan istrinya terkait dugaan pencabulan. Bahkan, hal itu dianggap dapat mempengaruhi proses penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan instansi lainnya.
”Kalau saya terkait kasus ini, analisa secara logika yang benar, bagaimana kebenarannya. Tidak mungkin kasus begini mau dibiarkan aparat hukum. Harus analisa. Tidak mungkin mau. Jadi harusnya datang di Luwu Timur, pelajari disana, situasinya bagaimana, yah karena saya itu, mohon maaf, orang yang fitnah saya ini tidak akan saya maafkan,” pungkasnya. Kasus sepenting ini akankah dibiarkan aparat ? Tentu sangat janggal. Namun untuk mengetahui duduk masalahnya lebih lanjut, mari ikuti kronologi kejadiannya secara lengkap.
Kronologi
Berikut kronologi kejadian dari kasus itu dilaporkan hingga dihentikan penyelidikannya berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan Zulpan.
- 10 Oktober 2019
RS mendatangi Polres Luwu Timur. RS erjadia t untuk membuat laporan pengaduan dugaan pencabulan terhadap ketiga anaknya yang. Dia melaporkan mantan suaminya, inisial SA (43), karena diduga mencabuli ketiga anaknya itu.
Adanya laporan itu, polisi menindaklanjuti dengan memeriksa sejumlah saksi hingga pelapor dan korban. Polisi juga melakukan visum ketiga anak itu di Puskesmas Malili dan RS Bhayangkara Polda Sulsel.
- 18 Oktober 2019
Polisi menginformasikan hasil visum dari Puskesmas Malili. Hasilnya, tidak erjadia tau tak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual pada ketiga anaknya. Kemudian, Polisi membawa kasus tersebut ke Polda Sulsel dan kembali melakukan visum di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulsel.
- November 2019
Polisi melakukan gelar perkara di Mapolda Sulsel. Hasilnya, mengintruksikan kepada penyidik Polres Luwu Timur atas kasus ini dihentikan karena tidak cukup bukti. Penghentian itu dari hasil visum di RS Bhayangkara Polda Sulsel yang juga tidak menemukan tanda-tanda kekerasan di alat vital ketiga korban.
- 10 Desember 2019
RS menerima surat SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) dari polisi. Dalam surat itu, penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan ayah ketiga anaknya, telah dihentikan.
- 21 Desember 2019
RS berangkat ke Kota Makassar, dengan membawa ketiga anaknya. Dia berkunjung ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Makassar untuk meminta pendampingan hukum.
- 26 Desember 2019
LBH Makassar bersama RS mendatangi Polda Sulawesi Selatan meminta gelar perkara khusus atas penghentian penyelidikan di Polres Luwu Timur.
- 6 Maret 2020
Polda Sulsel kembali melakukan gelar perkara sesuai permintaan LBH Makassar. Hasilnya, tetap meminta Polres Luwu Timur menghentikan penyelidikan kasus tersebut karena dari hasil visum tidak ditemukan bukti tiga anak itu mengalami kekerasan.
Pro Kontra
Polemik pro kontra penghentian penyelidikan Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan terkait kasus dugaan pemerkosaan terhadap tiga anak oleh ayah mereka sendiri terus bergulir bahwa menjadi viral dengan tagar #percumalaporpolisi dan kontra dengan tagar #polrisesuaiprosedur.
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Aziz Dumpa menduga, sejak awal dalam penyelidikan polisi terdapat malprosedur sehingga penghentian penyelidikan tidak tepat.
Mulanya ibu dari ketiga korban melaporkan kasus ini pada Oktober 2019 dan polisi melakukan penyelidikan. Namun, hanya berselang dua bulan, kasus itu dihentikan. “Tidak layak dihentikan, karena sejak awal proses penyelidikannya memang terjadi mal prosedur, artinya memang terkesan ada keberpihakan kepada terlapor sejak awal,” kata Azis Dumpa di Makassar.
Kejanggalan lainnya adalah bahwa pelaku merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Luwu Timur dan berteman dengan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Saat korban melaporkan kasus perkosaan ke unit tersebut, P2TP2A justru memanggil pelaku. Padahal, seharusnya P2TP2A Luwu Timur memeriksakan terlapor ke psikiater. Namun yang terjadi sebaliknya, yang diperiksa ke psikiater justru ibu korban.
“Kemudian ada pelanggaran dalam penyelidikannya, kok secara sepihak ibu korban yang diperiksa oleh psikiater, lalu ada rekomendasi dari psikiater bahwa dia punya waham,” ujarnya. Selain itu, pemeriksaan terhadap ibu korban juga janggal karena hanya dilakukan 15 menit. Padahal seharusnya pemeriksaan psikiater dilakukan beberapa tahap. “Tapi itu pertanyaan yang kritis kok ibunya yang diperiksa kan aneh, terus korban hanya diperiksa sekali,” kata Aziz.
Desakan Kasus Kembali Dibuka
LBH Makassar sempat mendesak agar kepolisian membuka kembali penyelidikan kasus dugaan perkosaan terhadap anak ini. Menurut LBH, ada beberapa bukti yang hanya bisa diperoleh dari penyelidikan. Hal ini seperti visum pembanding serta keterangan para saksi dan korban. “Harus dibuka dulu kasusnya,” kata Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar Resky Prastiwi.
Permintaan agar kasus ini dibuka kembali juga dilayangkan dari istana kepresidenan. Kantor Staf Kepresidenan (KSP) berharap agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kasus ini kembali jika ditemukan kejanggalan ataupun bukti baru.
“(Kalau memang) ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh ibu korban dan LBH Makassar, maka kami berharap Kapolri bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut,” kata Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani dalam keterangan resmi.
Jaleswari menegaskan, Presiden Joko Widodo tidak mentolerir predator seksual anak. Sikap ini Jokowi tunjukkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Selain itu, dalam salah satu rapat terbatas, Jokowi juga meminta agar kasus kekerasan kepada anak segera ditindaklanjuti dan pelaku mendapatkan hukuman yang membuatnya jera.
Menurut Jaleswari, kasus dugaan perkosaan di Luwu Timur sangat keji dan merupakan masalah serius. “Terlebih lagi bila yang melakukan adalah ayah kandungnya. Oleh karena itu pelakunya harus dihukum berat,” tegasnya.
Sesuai Prosedur
Mabes Polri mengklaim penyelidikan yang dilakukan Polres Luwu Timur sudah sesuai prosedur. Meski demikian Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Rusdi Hartono menyatakan pihaknya tetap akan melakukan penindakan jika terdapat aparat yang dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai aturan.
“Sejauh ini, apa yang dilakukan itu sesuai dengan standar prosedur ketika penyidik menangani suatu kasus perkara,” kata Rusdi kepada wartawan. BARESKRIM Polri juga mengerahkan tim asistensi untuk mengusut kasus dugaan pencabulan ayah terhadap tiga orang anaknya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengungkapkan bahwa pengiriman tim asistensi bertujuan untuk pendampingan Polres Luwu Timur dan Polda Sulawesi Selatan terkait proses hukum kasus tersebut.
“Tim asistensi Wasidik Bareskrim yang dipimpin seorang Kombes dan tim berangkat ke Polda Sulsel,” ungkap Argo. Menurutnya, tim asistensi Bareskrim Polri akan bekerja secara profesional. Bahkan, lanjut dia, apabila ditemukan bukti baru, polisi bakal kembali membuka perkara tersebut.
Diketahui, Polres Luwu Timur dan Polda Sulsel menghentikan proses penyelidikan kasus pencabulan terhadap 3 orang anak. Sebab, aparat tidak menemukan barang bukti yang kuat terkait dengan perkara tersebut. “Kalau ada bukti baru bisa dibuka kembali,” jelas Argo. Lebih lanjut, dia mengklaim penanganan kasus hukum mulai dari penerimaan laporan, penyelidikan, hingga penghentian kasus dugaan pencabulan di Luwu Timur, sudah berjalan sesuai prosedur yang berlaku. Pihak kepolisian dikatakannya sudah menindaklanjuti laporan tersebut pada 9 Oktober 2019.
Suara Terlapor
SA sebagai terlapor membuka suara sekaligus membantah laporan mantan istrinya, RA. “Mungkin orang-orang tidak memahami kejadian sebenarnya, sehingga dia (melaporkannya). Terus mamanya, mantan istri saya itu memaksakan kehendak,” ujar SA.
SA memastikan tidak ada yang mencoba melindunginya dalam kasus ini. Alasannya, dia bukanlah orang berpengaruh di Luwu Timur, hanya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) biasa di Inspektorat Pemkab Luwu Timur.
“Kalau kita mau secara analisa, secara logika, saya ini siapa memengaruhi (kasus) ini. Sampai tuduhannya bahwa bisa mempengaruhi penyidik, dan aparat hukum. Sedangkan bupati, ketua DPRD saja diambil (ditangkap), apalagi semacam saya ini, kalau memang melakukan kesalahan,” ujar SA seperti dilansir Antara.
Menurut SA, dari pemeriksaan Biddokes Polda Sulsel terkait hasil visum terhadap alat vital ketiga anaknya pada 2019 lalu, dinyatakan tidak terbukti ada kekerasan seksual. Dia malah menuding hasil tes kejiwaan pada mantan istrinya, ada dugaan kelainan jiwa.
Ditanyakan hubungan dengan anaknya, SA mengatakan, sejak berkasus pada 2019, RA membawa tiga anak mereka pindah ke Makassar. Kini setelah kasusnya kembali mencuat dan viral, dia tidak pernah lagi bertemu anak-anaknya.
“Saya tidak pernah lihat lagi itu anak-anak, karena takutnya saya dilaporkan dengan masalah baru lagi, itu saya jaga. Karena tahu karakter ini mamanya, jadi saya tidak mau. Cukup saya kirimkan uang makannya tiap bulan, itu rutin,” ujarnya.
SA pun mengaku tetap memonitor pemberian nafkah kepada anaknya dan memfotokopi semua bukti transfer. Dia bahkan menanyakan ke bank untuk memastikan apakah nomor rekening mantan istrinya itu masih aktif atau tidak, karena anak-anaknya tidak memiliki rekening.
SA pun mengaku sudah melaporkan balik mantan istrinya ke Polres Luwu karena telah mencemarkan nama baiknya. Hanya, laporannya belum mendapat respons dari aparat setempat. “Makanya saya laporkan balik (pada 2019), tapi belum ada tindak penyelesaian sampai sekarang,” bebernya.
Berkaitan dengan mencuatnya kembali kasus itu setelah dihentikan Polres Luwu pada 2019, kemudian viral, SA juga akan kembali melakukan upaya hukum balik, karena nama baiknya tercemar.
“Itu kan beredar, karena liar ini beritanya. Maksudnya begini, karena tidak terbukti ya kan, saya punya hak untuk lapor balik, apalagi ini (viral) sudah se-Indonesia. Termasuk (melaporkan) orang-orang itu, saya kumpul komentar-komentarnya (medsos dan media), nanti saya saring mana yang dibawa ke ranah hukum,” tegasnya.
Dia pun menyesalkan ramainya komentar terkait kasus itu. Menurutnya, publik seharusnya menganalisa menggunakan logika untuk mencari kebenarannya. Sebab, menurutnya, aparat hukum tidak mungkin membiarkan kasus ini. Apalagi dia dituduh melakukan kekerasan seksual pada anaknya bersama teman-temannya.
Saat berada di Makassar, SA mengaku sempat mendatangi kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) untuk menanyakan tanggung jawab dan perlindungan terhadap anaknya. Mengenai upaya hak asuh ketiga anaknya yang akan ditempuh melalui pengadilan, SA mengungkapkan sudah melakukannya sejak awal kasus itu pada 2019.
“Kemarin tujuan saya pelaporan balik kan (ajukan hak asuh), setelah berjalan, mungkin saya jadikan dasar untuk masuk pengadilan untuk mendapatkan hak asuh. Hanya saja, ini viral lagi, ya mungkin saya selesaikan dulu ini,” imbuhnya.
Tim SAPA 129
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mengatakan akan menurunkan tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Tim ini nantinya akan melakukan asesmen lanjutan atas penanganan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Kabupaten Luwu Timur.
“Kami akan menurunkan tim untuk mendalami penanganan kasus ini. Kami harap semua pihak dapat bekerja sama dan saling mendukung dalam prosesnya,” kata Bintang di Jakarta.
Dia juga meminta semua pihak, khususnya pendamping kasus untuk turut serta mengumpulkan setiap informasi penting terkait kasus ini. Karena bukan tidak mungkin, kasus ini akan dibuka kembali, jika bukti-bukti yang diberikan kepada pihak kepolisian sudah cukup.
Hal Senada dikatakan Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem, Ahmad Sahroni. Dia mengecam Kapolres Luwu Timur dan Kapolda Sulawesi Selatan yang tidak serius menanggapi laporan dugaan pemerkosaan yang dilakukan ayah terhadap tiga anaknya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Dia mendesak polisi untuk segera membuka kembali kasus tersebut Sahroni mendorong Propam untuk mengusut langkah Kapolda dan Kapolres yang tidak melanjutkan laporan tersebut.
“Kapolres dan Kapolda harus bisa menjelaskan alasan di balik keputusan ini, kalau perlu libatkan Propam. Jangan sampai kita melenggangkan tindak pidana kekerasan seksual seolah ini adalah masalah ringan,” tegasnya.
Ajukan Praperadilan
Melihat perkembaga kasus ini yang berkembang dan melebar bahkan viral. Sebaiknya kita kembali kepada prosedur hukum yang benar dan proporsional. Bagaimana pun ini negara hukum dan segala sesuatu harus diukur melalui prosedur hukum yang benar. Dan ada jalan tengah yang bisa dilakukan.
Seperti disampaikan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang menyarankan pelapor maupun kuasa hukum mengajukan praperadilan terkait penghentikan penyelidikan kasus dugaan pencabulan oleh penyidik Polres Luwu Timur.
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menjelaskan, jika hakim Praperadilan menyatakan penghentian penyidikan dilakukan polisi sah, maka kasus tersebut tidak dapat dibuka kembali. Namun menurut dia, jika hakim Praperadilan menyatakan penghentian penyidikan tidak sah, polisi wajib membuka kembali penyelidikan kasus tersebut.
“Bukti baru maksudnya dari hasil praperadilan itu. Jika Hakim memutuskan penghentian kasus tidak sah, maka penyidik wajib membuka lidik sidik lagi,” ujar Poengky. Polisi menyatakan tak menutup kemungkinan dapat kembali menindaklanjuti dugaan kasus pencabulan tersebut. Namun, hal itu bisa dilakukan jika adanya temuan bukti baru.
Ya memang demikianlah seharusnya. Prosedur pra peradilan adalah yang sangat adil bagi semua pihak dan terukur. Dan dari pihak manapun hendaklah berhati-hati dengan narasi di media sosial. Karena kenyataan yang sebenarnya bisa dengan mudah tertutupi oleh narasi negatif yang dilansir via media sosial tanpa saringan, cek dan ricek terlebih dulu. Kalau sudah demikian, semua dirugikan apalagi terlapor. Adapun masyarakat, sangat dirugikan karena waktu dan perhatiannya terganggu dengan berita yang tidak sesuai keadaan sebenarnya. Maka waspadalah selalu. (SAF).
Baca juga : Hilangkan Stigma ‘Hilang Kambing, Lapor Polri Hilang Sapi’