JAKARTA – Langkah Inggris, Australia, dan Kanada untuk secara resmi mengakui kedaulatan negara Palestina pada Minggu (21/9/2025) menjadi terobosan diplomasi yang signifikan. Keputusan ini menandai pergeseran dramatis dari posisi lama negara-negara Barat dan menambah tekanan diplomatik terhadap Israel di tengah krisis yang terus memburuk.
Pengakuan ini dianggap sebagai respons langsung terhadap kegagalan solusi dua negara dan frustrasi global atas perang di Gaza. Dengan demikian, ketiga negara tersebut bergabung dengan lebih dari 150 negara lainnya yang telah mengakui Palestina, memberikan dukungan moral dan politik yang kuat.
Dampak pada Konstelasi Politik Global
Keputusan ini memicu reaksi yang keras dan terbelah di panggung internasional. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bereaksi dengan marah dan berjanji tidak akan pernah mengizinkan pembentukan negara Palestina. Ia menganggap langkah ini sebagai dukungan terhadap terorisme.
Di sisi lain, sekutu terdekat mereka, Amerika Serikat, juga menyatakan ketidaksetujuannya. Presiden AS Donald Trump dilaporkan menentang keputusan tersebut, menunjukkan adanya perpecahan dalam aliansi Barat terkait isu ini.
Gelombang Dukungan dan Harapan Baru
Pengakuan oleh tiga negara G7 ini memperkuat gelombang dukungan yang dimulai oleh negara-negara Eropa lain seperti Spanyol, Norwegia, dan Irlandia. Segera setelah pengumuman, Portugal dan Prancis juga mengumumkan langkah serupa, menunjukkan adanya efek domino.
Para pendukung pengakuan ini percaya bahwa tindakan tersebut dapat menghidupkan kembali harapan perdamaian dengan memberdayakan pihak-pihak yang mencari solusi damai, bukan kekerasan. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk mendorong semua pihak, terutama Israel, kembali ke meja perundingan dengan tujuan mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan di masa depan.