NyenyerNetizen
  • Beranda
  • Hot News
  • Ruang Maya
  • Jaga Negeri
  • Life Style
  • Entertainment
Selasa, Maret 21, 2023
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Hot News
  • Ruang Maya
  • Jaga Negeri
  • Life Style
  • Entertainment
No Result
View All Result
NyenyerNetizen
No Result
View All Result
Home Jaga Indonesia Indonesia

Bolehkah Anggota Polri Melakukan Kekerasan ?

Admin Netizenwatch by Admin Netizenwatch
11 November 2021
in Indonesia
0
Bolehkah Anggota Polri Melakukan Kekerasan
0
SHARES
15
VIEWS

Rekaman video oknum polisi mengamankan warga dan melakukan pemukulan saat proses Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kampung Wonorejo TPS 7, Kabupaten Nabire, Papua viral di media sosial baru-baru ini.Apa hukuman setimpal bagi anggota Polri yang melakukan kekerasan ?

Jakarta – (02/08/2021). Saat ini, kedua oknum anggota Polri tersebut sudah diperiksa Propam Polres Nabire, Rabu (28/7/2021) lalu. Dalam video tersebut, tampak seorang warga dibawa dua polisi berseragam lengkap menuju ke kendaraan petugas. Saat akan dinaikkan ke dalam truk, salah satu oknum polisi mendorong dan beberapa kali memukul bagian kepala warga tersebut. Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri menyampaikan, kedua anggota tersebut yakni berinisial YW dan TR. Dia telah memerintahkan Propam Polres Nabire untuk menahan mereka. “Kronologi kejadian saat PSU Pilkada Nabire tersebut ada ketidakpuasan salah satu pemilih atas nama Nicolaus Mote yang memprotes di TPS. Sehingga ada respons dari anggota Polres Nabire untuk mengamankannya agar pelaksanaan PSU bisa berjalan lancar dan aman,” ujar Kapolda,

Dia menambahkan, anggota Polres Nabire cukup sigap dan tegas mengamankan warga demi keamanan PSU tersebut. “Namun selaku Kapolda saya sangat menyayangkan sikap dan tindakan kedua anggota Polres Nabire yang menurut saya itu sangat berlebihan,” katanya. Kapolda menuturkan permohonan maaf atas kejadian tersebut. Selaku pimpinan di wilayah hukum Polda Papua, dia tidak akan memberikan peluang bagi anggota yang melakukan hal-hal atau tindakan berlebihan terhadap masyarakat. Tegas boleh tapi tidak dengan kekerasan.

“Untuk saat ini anggota Polres tersebut sudah saya perintahkan untuk segera ditahan dan dilakukan pemeriksaan dan dibawa ke sidang,” ujar Kapolda. Diketahui, PSU Nabire diikuti tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati, yakni Paslon Nomor Urut 01 Yufinia Mote-Muhammad Darwis dan Paslon Nomor Urut 02 Mesak Magai-Ismail Djamaludin. Kemudian, Paslon Nomor Urut 03 Fransiscus Xaveriu. Jumlah pemilih sebanyak 86.064 orang yang menyalurkan suaranya di  304 TPS tersebar di 15 distrik.

Peristiwa Yang Selalu Berulang

Entah apa yang ada di kepada para anggora Polri yang melakukan kekerasan ini. Peristiwa seperti terus berulang dan agaknya mereka merasa berhak dan boleh melakukan kekerasan baik dalam menjalankan tugas maupun dalam keseharian. ”Saya ini petugas,” kata-kata yang sering terjadi didengar anggota masyarakat kalau ada anggota Polri. Seolah kata-kata yang membolehkan melakukan apa pun.  Maka peristiwa kekerasan pun terus berulang. Ini bukan yang pertama, beberapa waktu lalu ada dua wanita dan seorang anak menjadi korban tindak kekerasan oknum Polri setelah tertangkap tangan melakukan pencurian di sebuah toko di Pangkalpinang.

Kasus penganiayaan yang dilakukan oknum Polri AKBP Yusuf di minimarket Selindung, Bangka terhadap tiga orang ini sempat viral di media sosial. Dikutip dari Antara, Kepolisian Daerah Kepulauan Bangka Belitung mencopot jabatan AKBP Yusuf atas peristiwa kekerasan tersebut. “Saat itu berdasarkan telegram nomor ST/1786/VII/2018 tanggal 13 Juli 2018, AKBP Yusuf dimutasi dari Kasubdit Kilas Ditpamobvit menjadi Pamen Yanma Polda Babel,” kata Kapolda Kepulauan Bangka Belitung Brigjen Pol. Syauful Zachri di Pangkalpinang. “Polda Babel meminta bantuan Propam Mabes Polri dan Polda Jawa Barat karena yang bersangkutan sedang izin ke Bandung untuk mengurus kuliah anaknya. Saat ini, AKBP Yusuf telah diproses di Polda Jawa Barat dan telah menjalani pemeriksaan di sana,” katanya.

Tindakan tegas itu dilakukan sebagai bukti nyata bahwa Polri tidak ada pilih kasih dalam memberikan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku, baik itu terhadap anggota Polri maupun masyarakat yang melakukan tindakan pidana. “Saya sebagai Kapolda Kepulauan Bangka Belitung meminta maaf kepada masyarakat atas kejadian ini dan akan menjadi atensi kami untuk memperbaiki moral dan pribadi anggota dalam melayani masyarakat,” ujarnya.

Berdasarkan keterangan dari Kapolres Pangkalpinang AKBP Iman Risdiono Septana, kronologis dalam video yang viral tersebut bermula ketika AKBP Yusuf mendapat laporan dari pegawainya bahwa ada tiga orang yang tertangkap tangan melakukan pencurian di toko miliknya. AKBP Yusuf melakukan tindakan kekerasan karena tersulut emosi ketika bertanya kepada kedua orang tersebut. Mereka menjawab tidak tahu. Begitu pula, ketika ditanya KTP dan komplotan lainnya yang melarikan diri, keduanya juga menjawab tidak tahu. Atas dasar itulah, AKBP Yusuf melakukan tindakan kekerasan terhadap kedua wanita paruh baya dan anak di bawah umur tersebut. Akibat tindakannya itu, AKBP Yusuf saat ini sudah menjalani pemeriksaan di Propam Polda Jawa Barat dan telah dicopot jabatanya dari Kasubdit Kasubdit Kilas Ditpamobvit Polda Babel.

Sementara itu, pengamat hukum pidana dari Universitas Riau Erdianto Effendy mengatakan AKBP Yusuf harus ditindak menurut hukum pidana maupun kode etik Polri atas kejadian tersebut. “Sebab apa yang dilakukan AKBP Yusuf itu adalah perbuatan main hakim sendiri, apalagi terhadap seorang perempuan dan juga anak-anak,” kata Erdianto di Pekanbaru.

Pendapat ini disampaikan terkait kasusnya yang viral di media sosial tentang penganiayaan yang dilakukan oknum Polri AKBP Yusuf di “minimarket” Selindung, Bangka terhadap tiga orang.

Menurut Erdianto, terlepas dari aspek hukum, secara sosiologis seharusnya AKBP Yusuf bisa menempuh cara lain tanpa harus melakukan pelanggaran hukum “Juga terhadap Andy Rafly (12) pelajar SD, yang tertangkap tangan melakukan pencurian adalah tindak pidana, terlepas dari berapa nilai yang dicuri. Ini tetap perbuatan tercela,” katanya. Ia memandang bahwa pencurian termasuk “recht delicten”, bukan “wet delicten”, yaitu perbuatan yang senyatanya jahat. Akan tetapi apa yang telah dilakukan AKBP Yusuf juga tindak pidana, apalagi sebagai seorang polisi seharusnya ia tahu bagaimana seharusnya bersikap atas pencuri yang tertangkap tangan. “Yang seharusnya ia lakukan adalah mengamankan pelaku untuk selanjutnya diproses secara hukum, bukan dengan main pukul. Suatu kebenaran akan menjadi kesalahan ketika diselesaikan dengan cara yang salah,” katanya.

Berdasarkan Norma Hukum

Berdasarkan ulasan klinik hukumonline berjudul Jika Polisi Melakukan Kekerasan kepada Masyarakat, pada dasarnya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal tersebut kemudian dituangkan lebih lanjut dalam Pasal 10 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri 8/2009). Dalam tersebut diatur bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) sebagai berikut:

Pertama, senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang kepada mereka. Kedua, menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya dan ketiga, tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan.  Selain itu, dalam Pasal 11 Perkapolri 8/2009, setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: Pertama, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum. Kedua, penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan. Ketiga,  pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan. Keempat, penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia.

Kelima, korupsi dan menerima suap. Keenam, menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan. Ketujuh, penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum (corporal punishment). Dan ke delapan, menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.

Jika Lakukan Tindakan Kekerasan

Jika polisi harus melakukan tindakan kekerasan, maka tindakan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 45 Perkapolri 8/2009, yaitu: a. tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu; b. tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan; c. tindakan keras hanya diterapkan untuk tujuan penegakan hukum yang sah; d. tidak ada pengecualian atau alasan apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hukum;

Selanjutnya butir e. penggunaan kekuatan dan penerapan tindakan keras harus dilaksanakan secara proporsional dengan tujuannya dan sesuai dengan hukum; f.  penggunaan kekuatan, senjata atau alat dalam penerapan tindakan keras harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi; g. harus ada pembatasan dalam penggunaan senjata/alat atau dalam penerapan tindakan keras; dan h. kerusakan dan luka-luka akibat penggunaan kekuatan/tindakan keras harus seminimal mungkin. Hal ini juga sejalan dengan Kode Etik Kepolisian yang terdapat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 14/2011”). Dalam Pasal 10 Perkapolri 14/2011, dikatakan bahwa setiap anggota polisi wajib: a. menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia; b. menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum;

Nyata Kesalahannya

Kembali ke peristiwa pemukulan anggota masyarakat di Nabire oleh oknum anggota Polri di atas, tentu kita dapat menilai bahwa perbuatan itu jelas bertentangan dengan norma hukum maupun kode etik kepolisian. Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D Fakhiri jelaskan pasca kejadian tersebut oknum polisi dan korban sudah dipertemukan dan sepakat untuk saling memaafkan. Meski sudah saling memaafkan, Kapolda tegaskan dua oknum polisi yang melakukan kekerasan tersebut tetap akan ditindak tegas dengan diberikan disiplin. Selaku Kapolda, saya menyayangkan sikap dan tindakan anggota Polres Nabire yang berlebihan. Saya sudah perintahkan untuk melakukan pemeriksaan,” kata Mathius. Bahkan keduanya sudah diamankan oleh Propam Polres Nabire dan dilakukan penahanan.

Kapolda juga sampaikan permohonan maaf kepada korban dan keluarga atas tindakan anak buahnya tersebut. Ia berharap agar kejadian ini menjadi pelajaran bagi anggota lainnya untuk tidak lakukan kekerasan terhadap warga sipil saat menjalankan tugas di lapangan. Cukupkah kasus kekerasan oleh oknum anggota Polri diselesainkan divisi Propam Polres Nabire?  Mengenai kasus kekerasan oleh oknum anggota Polri secara umum, Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan oknum polisi yang melakukan kekerasan terhadap warga masyarakat, juga harus diproses secara pidana.

Selama ini kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian biasanya hanya ditangani Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. “Propam kan menangani perbuatan dalam konteks etika dan prosedur profesi meski hukumannya juga ada hukuman kurungan badan. Namun penganiayaan yang dilakukan secara sengaja itu termasuk delik pidana yang bisa diproses secara pidana,” kata Abdul.

Jika tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian sebagai ekses atau telah melampaui batas pelaksanaan profesi polisi, memang domainnya Propam. Namun, menurut Abdul, tindakan penganiayaan oleh oknum polisi apalagi jika dilakukan bersama-sama itu merupakan sebuah delik pidana. Sebab upaya yang dilakukan bukan sebagai bentuk membela diri. “Saya kira secara pribadi atau organisasi profesi bisa dan harus melaporkan tindak pidana ini dan harus diselesaikan secara hukum,” ujarnya.

Subjek Hukum

Berdasarkan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2019 disebutkan “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum,” yang menunjukkan bahwa anggota Kepolisian RI termasuk subjek hukum. Selain itu proses peradilan pidana bagi anggota Polri juga diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sesuai Pasal 170 Ayat 2 Angka 2 KUHP, kata Staf Advokasi Pembelaan HAM Kontras Falis Agatriatma siapa pun yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dihukum dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh. Falis kemudian menyinggung Pasal 12 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian juncto Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian menyatakan, penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana.  “Kita menuntut polisi harus profesional, akuntabel, transparan untuk memproses para terduga pelaku ini secara pidana,” kata Falis.

Pemecatan ?

Pertanyaan berikutnya, dengan banyak dan berulangnya kasus kekerasan yang dilakukan oknum anggota Polri terhadap masyarakat, mungkinkah sampai terjadi tindakan pemecatan ? Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan pemecatan terhadap anggota kepolisi dari kesatuannya. Yang pertama menurut Kapolda Babel Brigjend Pol M. Rum Murkal ialah, bila anggota tersebut melanggar tindak pidana yang dilakukan sidang pidana, kedua apabila anggota kepolisian tersebut melanggar kedisiplinan yang di sidang dengan sidang disiplin, dan yang ketiga ialah apabila anggota kepolisian tersebut melanggar profesi dan dilakukan sidang profesi.

Dalam proses ini terang Kapolda, apakah anggota tersebut melanggar pidana, disiplin atau profesi maka Untuk PTDH-nya akan diajukan rekomendasi PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) melalui sidang kode etik Kepolisian. Kemudian, lanjutnya bila anggota tersebut direkomendasikan untuk dipecat maka harus melalui sidang kode etik kepolisian terlebih dulu. “Sidang inilah yang akan memutuskan apakah anggota yang melanggar tersebut dipecat atau tidak, kalau dia anggota tersebut debatnya kuat untuk tidak dipecat maka dia tidak akan dipecat,” tegas Kapolda.

Kapolda menambahkan, meskipun sudah ada rekomendasi untuk dipecat, namun karena hal ini merupakan haknya bila anggota tersebut tidak menginginkan di PTDH maka dia bisa mengajukan PTUN. “Kalau melangar tindak pidana, disiplin, dan profesi memang bisa dipecat, tetapi harus melalui prosedur hukum yang tetap,” ujar Kapolda. Kapolda menerangkan, adanya pemecatan terhadap anggota polisi ini bila dilihat dari segi SDM maka cukup berbahaya karena apabila anggota tersebut mempunyai SDM yang kuat maka cukup sayang bila dipecat.

Bayangkan kalau anggota yang dipecat ialah seorang intelejen yang sudah bertugas 30 tahun lamanya, berarti kan SDM-nya hebat dan sayang untuk dipecat. Akan tetapi itu resiko karena ancaman hukuman pidana 3 bulan saja sudah bisa diusulkan untuk di PTDH, jadi PTDH itu melalui suatu proses, dia dipecat atau tidaknya tergantung melalui sidang Kode etik kepolisian,” terang Kapolda.

Kapolda mengaku pemecatan anggota yang bermasalah tidak membuatnya bangga. “Tidak menjadi suatu kebanggaan menjadi Kapolda untuk memecat anggota, namun kalau sudah memenuhi persyaratan apabila melanggar tindak pidana, disiplin, dan profesi maka bisa diajukan PTDH melui sidang kode etik,” tegasnya.

Kapolda menerangkan, proses pemecatan yang dilakukan oleh organisasi merupakan suatu proses yang panjang mengingat mendidik seseorang menjadi anggota polisi sangatlah susah. Untuk itu ungkap Kapolda langkah penegakan hukum sebaiknya melalui edukasi, namun apabila anggota tersebut sudah berulang-ulang melanggar disiplin maka bisa di ajukan PTDH apabila memenuhi syarat. Begitu sulit dan repot untuk memecat seorang anggota Polri. Maka satu-satunya jalan  adalah agar setiap anggota berhati-hati dan berhentilah segera melakukan kekerasan kepada warga masyarakat. Kekerasan selain mencoreng nama baik korps, juga menyusahkan banyak pihak. (Saf).

Baca juga : Penerapan SiLacak dan Risk Memberi Harapan, Sistem Tracing Pandemi Baru Covid-19

Tags: KekerasanOknumPolisiPolriViral
Previous Post

TNI AD-Polri Sepakati Kerja Sama Pendidikan, Andika Perkasa: Harus Terjadi, Tak Hanya Ngomong Doang

Next Post

Antisipasi Bencana Alam, Polri Gerai Operasi Kotingensi Aman Nusa II

Next Post
Antisipasi Bencana Alam, Polri Gerai Operasi Kotingensi Aman Nusa II

Antisipasi Bencana Alam, Polri Gerai Operasi Kotingensi Aman Nusa II

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Login
Notify of
guest
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Terpopuler

Presiden Jokowi Beri Nasehat Farel Prayoga, Ini komentar Para Penyanyi Hingga Netizen

Presiden Jokowi Beri Nasehat Farel Prayoga, Ini komentar Para Penyanyi Hingga Netizen

19 Agustus 2022
Teroris

Penangkapan Terduga Teroris dan Implikasi Teroris

23 November 2021
Bhabin Tanjung Tengah Cek Posko PPKM

Bhabin Tanjung Tengah Cek Posko PPKM

23 Agustus 2021

Berita Lainnya

Sambut HUT RI Ke-76, Polda Bengkulu Gelar Serbuan Vaksinasi Merdeka

Sambut HUT RI Ke-76, Polda Bengkulu Gelar Serbuan Vaksinasi Merdeka

15 Agustus 2021

VIDEO: Kocak, Aksi Pemotor Trail Melewati Tanjakan, Akhirnya Bikin Ngakak

10 Februari 2021

Viral, Perusahaan Ini Menjual Udara Pantai Senilai Rp 1,4 Juta Per Botol

5 Maret 2021

TNI-Polri Lakukan Sinergitas Pendampingan Vaksinasi di Kota Tegal

2 September 2021
  • Entertaiment
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Kebijakan Privasi
  • Tentang Kami
  • Disclaimer
  • Citizen Journalism
© Copyright Netizenwatch Team All Rights Reserved
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Entertainment
  • Berita Negeri
  • Hot News
  • Ruang Maya
  • Life Style
  • Jaga Indonesia

wpDiscuz