Kapolri Listyo sudah menghimbau bawahannya atas poin-poin penting petunjuk kerja polisi yang ideal : “Prinsipnya, setiap anggota Polri harus cepat dalam bertindak melayani dan tidak transaksional. Jangan sampai gara-gara laporan hilang ayam, eh setelah lapor malah kambingnya juga ikut hilang. Itu yang saya harapkan ke depan tidak terjadi lagi dengan mekanisme pengawasan.”
Jakarta, 12 Oktober 2021. Kasus pemerkosaan tiga anak di bawah umur di Luwu Timur Sulawesi Selatan pada 2019 lalu mencuat kembali sejak beritanya menjadi viral oleh karena beritanya muncul pertama kali di project Multatuli mengenai soal penyelidikannya dihentikan Polres setempat karena mereka kekurangan bukti yang cukup. Segera sesudah itu tagar Polisi #PercumaLaporPolisi muncul di Twitter dan umummya masyarakat melihat kasus ini sebagai contoh gambaran keseluruhan ketidakpuasan terhadap kinerja kepolisian dalam penanganan masalah-masalah kejahatan yang seringkali dianggap berakhir tanpa memenuhi asas keadilan.
Munculnya tagar viral tersebut jusru ironis bila ditempatkan dengan konteks cita-cita Polri di bahwa kepemimpinan Kapolri Jendral Sigit Listyo Prabowo dengan slogan Presisinya. Selama ini pihak kepolisian selalu giat melakukan sejumlah upaya menjadikan Polri sebagai lembaga yang profesionalitas dan memiliki kredibitas. Seperti tampak dari munculnya tagar bandingan #PolriSesuaiProsedur, mereka menunjukkan bahwa ada prosedur yang harus dijalankan dalam melakukan kerja penyelidikan kejahatan.
Kasus pemerkosaan itu kini sudah memasuki babak baru sejak Bareskrim Polri turun tangan untuk merespon desakan publik melakukan audit proses hukum. Menurut Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono (10/10), selain melakukan audir, tim Bareskrim Polri juga akan memberikan asistensi kepada penyidik jika kasus itu akan dibuka kembali.
Anekdot Lapor Hilang Kambing, Bisa Jual Sapi
Seperti tampak dari berbagai tanggapan di media sosial, ada banyak isu yang kemudian juga mengemuka berangkat dari kasus ini. Banyak netizen yang mengambil momentum ini untuk menaikkan ke permukaan mengenai kinerja kepolisian yang bermula dari tagar #PercumaLaporPolisi.
“Kalau berurusan dengn polisi, masyarakat harus siap diperas, diminta bantuan sebagai dana yang diperlukan agar kasus mereka mendapat perhatian. “ demikian tulis seorang pengguna medsos. Dari pernyataan itu tampak sekali masih adanya anggapan bahwa polisi tidak serius, sering tebang pilih dalam menangani kasus-kasus yang dikategorikan dengan label-label apakah mendesak, penting atau bahkan tidak ditangani secara serius.
Tuduhan-tuduhan itu memunculkan kembali suatu pameo citra negatif dan buruk atas kepolisian Indonesia karena dianggap masih belum memiliki komitmen dan kesungguhan dalam penanganan kasus-kasus yang masuk. Pameo yang hidup di kalangan masyarakat menyatakan bahwa jika kehilangan kambing dan lapor polisi maka bisa jadi akan ikut kehilangan sapi, bahkan juga kandangnya. Selain dianggap sebagai pameo, ada pula yang mengatakan ini sebagai humor klasik atau anekdot yang masih hidup dan relevan sampai sekarang, terutama bila mengasosiasikan ketika budaya kepolisian secara umum di Indonesia.
Istilah ini pernah dipopulerkan oleh Agung Setya (2016) dalam bukunya, Polisi mengantar ayam hilang: Perspektif penegakan hukum pencucian uang yang memberi harapan, manfaat, dan rasa keadilan. Ia menulis bahwa “ Hilang ayam lapor ke polres jadi hilang kambing, komplain atas perbutan Polisi Polrres dan lapor ke Polda jadi hilang sapi Tidak puas lapor lagi ke Mabes malah hilang sampai kandang-kandangnya.” Agung Setya juga seorang polisi, ia pamen polri yang pernah bertugas sebagai penyidik di bidang Tindak idana Pencucuian Uang (TPPU).
Humor ini menggambarkan dengan jelas situasi yang dihadapi oleh orang Indonesia ketika mencari keadilan yang melibatkan aparat kepolisian. Tidak saja keadilan tidak mudah didapat, tapi juga sering ada unsur penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi. Hubungan masyarakat dan polisi masih dilihat sebagai transaksi dan negosiasi. Bahwa hanya yang memiliki koneksi dan dana yang diuntungkan oleh sistemnya. Budaya ini masih hidup dan berkembang di lingkungan kepolisian bahkan
dianggap pencerminan budaya korupsi yang hidup di Indonesia.
Dalam pandangan itu, sementara keadilan bagi korban kejahatan tidak dijamin bisa didapat, mereka pada akhirnya justru kehilangan material lain yang jumlahnya tidak selalu sedikit. Masyarakat masih tidak banyak memiliki pilihan bila mereka tidak memiliki koneksi, kekuasaan dan uang. Agar kasus mereka dapat ditangani, mereka harus selalu siap menyiapkan dana. Masyarakat dikondisikan agar dapat maklum bahwa anggaran untuk suatu penyelidikan tidak besar alias minim. Imej buruk yang dicerminkan dengan pemeo itu selalu melekat dalam perjalanan imej Polri dari masa ke masa. Tercatat sejak beberapa dekade terakhir, setiap petinggi Polri yang akan dipromosikan tidak lupa mengangkat isu ini sebagai awal perbaikan yang dianggap vital. Janji-janji perbaikan atas imej buruk itu tertuang dalam materi-materi yang dipaparkan dan diberitakan.
Menilik isi media massa dari tahun 2000-an sampai sekarang, diskusi dan harapan membuang slogan buruk itu masih terus ditulis dan aktual. Ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dilantik, demi memperbaiki citra institusinya, ia dilaporkan bertekad tidak hanya sekadar mengurusi “kambing atau sapi”. Masyarakat sudah menaruh harapan besar agar Polri di tangan Kapolri baru dapat menghapus citra negatif ‘ Lapor hilang kambing, bisa jual sapi’. Dengan tagline terkenalnya presisi, ia berjanji mennghadirkan polisi yang prediktif, responsibilitas dan transparansi berkeadilan. Dalam konteks ini, lapor polisi hilang kambing malah kehilangan sapi, diprediksi akan menjadi humor usang yang tidak boleh terdengar lagi. Masyarakat dan tokoh masyarakat juga dijanjikan anekdot ‘tajam ke bawah tumpul ke atas’ akan menghilang pula. Hal ini dianggap sudah tidak berlaku pada pemolisian di era modern dan keterbukaan yang penuh dengan nilai presisi, humanis dan berkeadilan.
Masalah Yang Dihadapi
Sayangnya upaya Polri secara umum untuk perbaikan imejnya masih harus terus ditingkatkan karena ternyata sloganisme, atau respon sesaat tanpa memikirkan solusi jangka panjang masih dianggap menonjol. Masih dibutuhkan usaha-usaha nyata dan pasti yang dapat meredam, mengurangi bahkan menghilangkan hidupnya pameo negatif ini. Sudah sering disebutkan idealnya harus diupayakan cara mengubah cara berfikir dan citra di masyarakat sejak dari hulu sampai hilir dan dilakukan secara holistik dan komprehensif untuk membuang pameo ini. Janji perubahan meski perlahan diperlukan untuk menarik kembali kepercayaan masyarakat. Namun bila perbaikannya hanya sekadar wacana, dikhawatirkan akan berpreseden buruk ke depannya.
Kepolisian tidak dibolehkan melakukan hal-hal yang dianggap justru menurunkan kepercayaan publik terhadap mereka sebagai aparat penegakan hukum. Masyarakat sebaliknya menuntut agar aparat kepolisian selalu menjunjung sikap profesionalitas, komitmen dan integritas yang besar terhadap pekerjaaannya. Membentuk aparat kepolisian yang berkualitas tidak mudah dan selalu berhubungan dengan proses sejak awal perekrutan. Sebagai penegak hukum, diperlukan tingkatan integritas yang tinggi, kejujuran dan pengabdian. Hanya bila terpenuhi aparat kepolisian seperti ini maka penegakan hukum dapat mencapai kualitas tertinggi, terutama tugas utama memberikan perlindungan kepadz kelompok rentan di masyarakat, termasuk anak dan perempuan yang seringamenjadi korban kejahatan seksual akibat sistem budaya yang berlaku.
Idealnya, sudah saatnya kepolisian tidak lagi menitikberatkan persoalan-persoalan yang dibedakan atas alasan seberapa penting untuk diselesaikan. Kepolisian tidak boleh membedakan tingkat pentingnya suatu kasus, apakah dilihat sebagai kasus kakap atau kelas teri atau masalah-masalah menyangkut kemaslahatan manusia. Munculnya kasus kekerasan seksual di Luwu Timur masih memperlihatkan betapa polisi tidak tanggap dan sensitif dengan pencarian keadilan dari korban terutama dalam kasus pemerkosaan tersebut bagi sebagian orang. Kesalahan prosedur yang diterapkan dianggap membuat, ini kemudian dinyatakan tidak dapat diteruskan dan membuat banyak orang yang marah dan menyayangkannya.
Sebenarnya, masalah KDKRT dan kekerasan seksual merupakan masalah yang serius dalam masyarakat secara global, termasuk di Indonesia. Seorang netizen bahkan mengingatkan bahwa soal-soal kekerasan seksual dan KDKRT ini justru sekarang lebih mudah didapatkan bukti-buktinya di media sosial sepertiTiktok yang sedang naik daun dan bisa digunakan sebagai bukti penyelidikan polisi.
Label Polisi Luwu Timur bahwa artikel mengenai kasus kekerasan seksual tersebut dalah hoaks disesalkan oleh KOMPAKS (Koalisi Masyarakat Sipi Anti kekerasan Seksual). Tindakan Polisi setempat dianggap menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus serupa. Mereka meminta agar mereka segera mencabut SP3 dan mengusut ulang penyelidikan kasus pemerkosaan itu.
Pihak Polri awalnya memastkan kasus ini sudah dilakukan sesuai prosedur mulai dari penerimaan laporan, penyeliikan hingga penghentian kasus rudapaksa di Luwu Sulawesi Selatan itu. Namun berbagai desakan termasuk dari pemerintah telah membawa pada upaya peninjauan kembali yang sebenarnya menunjukkan upaya Polri untuk menghilangkan stigma terhadap imej buruk mereka. Aktivis perempuan Kalis Mardiasih menyatakan bahwa kasus ini harus dibuka karena belum memberikan pendampingan hukum serta pemulihan serta keadilan kepada korbannya.
Keterlibatan Aktif Personel Kepolisian
Kegagalan polisi dalam menginvestigasi atau memproses kasus-kasus kejahatan selalu dianggap menjadi salah satu faktor menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian. Mereka dianggap gagal melindungi kepentingan masyarakat mencari keadilan. Itu sebabnya banyak sekali kasus yang tidak dilaporkan meskipun memberikan dampak psikis dan fisik yang berat bagi para korbannya.
Penelitian menyebutkan bahwa rendahnya pelaporan aksi kejahatan kepada kepolisian karena masyarakat percaya bahwa melaporkan suatu kejahatan tidak selalu berarti memperoleh keadilan, namun justru merugikan karena prosesnya makan waktu, berbelit-belit dan sulitnya meyakinkan pihak kepolisian menaruh atensi terhadap kasus mereka secara serous.
Khususnya menyangkut kasus-kasus kejahatan pemerkosaan, jumlah kejahatan yang dilaporkan jauh lebih sedikit lagi. Penelitian menemukan bahwa 90 persen aksi kejahatan pemerkosaan di dunia tidak dilaporkan dan dari 10 persen itu sangat sedikit yang akhirnya memberikan keadilan bagi para korbannya karena alasan bukti. Dari yang dilaporkan rata-rata juga terabaikan kasusnya, terstigma dengan nilai moral dan sosial budaya setempat dan trauma yang disandang oleh para korbannya termasuk dari pihak polisi setempat sendiri.
Bila karena satu dan lain hal suatu kasus dihentikan sepihak oleh kepolisian, pihak yang melapor akan merasa terabaikan tidak dipercayai oleh aparat hukum dan merasa takut karena pelakunya masih berkeliaran dan dikhawatirkan melakukan aksi balas dendam karena mereka melaporkan ke polisi. Pendeknya, pihak kepolisian harus melihat dampak lebih jauh yang diakibatkan dari kasus pemerkosaan di Luwuk yang sebelumnya sudah dihentikan itu. Jelaslah keterlibatan aktif personel kepolisian memang diperlukan untuk menjemput bola agar penyelesaian kasus-kasus bisa lebih efektif dan efisien. Melihat contoh peran aktif kepolisian Australia misalnya, dalam menangani bukti-bukti kekerasan seksual, bukti-bukti bisa diperoleh dari mana saja, dan tidak harus disediakan oleh pelapor seperti banyak kasus mandek di Indonesia. Bukan rahasia umum semua itu seringkali lumrah dilakukan karena adanya keterbatasan dalam pendanaan penelusuran kasus di lingkungan Polri.
Menangani kasus-kasus yang tampaknya sepele saja seperti penipuan online, tidak jarang dapat menyedot pembiayaan proses penyelidikan yang tidak sedikit. Sebagaimana sering dilaporkan, biaya memproses kasus-kasus besar bisa sampai puluhan juta da memerlukan keterlibatan banyak aparat. Anggaran penanganan kasus di Polri selama ini dibatasi melalui sistem indeks yang menyebabkan anggaran bisa habis sebelum suatu kasus diselesaikan. Perlu dicarikan korelasinya apakah persoalan penanganan kasus juga banyak dipengaruhi oleh faktor pendanaan dan sumber daya manusia nya di lingkungan Polri.
Pentingnya Terus Pupuk Semangat Perbaikan
Menurut rekomendasi dariUNODC, memajukan institusi kepolisian yang paling ideal adalah dengan peningkatan performan mereka yang memenuhi akuntabilitas. Ada tiga cara yang harus ditangani. Pertama harus dihadirkan penguatan kontrol sipil terhadap polisi bagi negara yang demokratis. Kedua, penting meningkatkan raaa percaya diri publik terhadap polisi, dengan cara peningkatan kualitas layanan dan penyelidikan serta keseriusan melawan potensi tindak korupsi mereka.
Sejak reformasi, sudah banyak kemajuan yang dihasilkan Polri terutama dalam pengubahan budaya kepolisian yang leih ke arah positif. Selalu diupayakan udshs membentuk kepolisian yang makin modern, memiliki akuntabilitas, komitmen dan integritas yang menyatu dalam sistem kepolisian menyeluruh. Ini tidak saja berlaku tidak saja bagi elit pemimpin di atasnya, namun juga semua personel yang bekerja di seluruh bagian.
Polisi Indonesia dalam hal ini dianggap menghadapi masalah yang dilematis. Kepercayaan publik terhadap Polri sedang dan akan selalu ditingkatkan meski percepatannya masih jauh dari yang diharapkan. Berbagai pengaduan dan penilaian kritis masih terus dilemparkan ke pihak kepolisian. Penggunaan media sosial yang meluas dan demokratis tidak memungkinkan suara mereka dibungkam untuk memberikan suara-suara dn memperjuangkan keadilan. Apalagi bagi mereka yang selama ini terabaikan atau tidak mendapat perhatian proporsional dari aparat penegak hukum.
Konsistensi dan komitmen adalah dua kata kunci mengupayakan perwujudan institutusi Polri yang lebih baik, solid dan profesional. Selain rekam jejak yang bersih dan berkemampuan seorang penyidik polisi misalnya, memerlukan elemen lain untuk melaksanakan tugas-tugas assesment agar kinerja mereka dapat selalu terukur dan ditingkatkan.
Langkah Nyata
Mewujudkan sikap anggota Polri yang sigap melayani, humanis dan tetap tegas telah dinyatakan sebagai prioritas utama demi perbaikan kinerja kepolisian di Indonesia. Sayangnya upaya tersebut masih terjebak di taraf citra dan pencitraan ketimbang sesuatu yang sudah terbukti dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat Permintaan Kapolri saat dilantik kepada setiap anggotanya agar peka terhadap rasa keadilan di masyarakat disambut sebagai harapan yang didambakan. Namun dalam kenyataan, mereka yang ditemui jalan, di pos polisi.di ruang penyelidikan bahkan di ruang siber selama ini sepertinya tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Kapolri Listyo sebenarnya sudah mewanti-wanti bawahannya atas poin-poin penting petunjuk kerja polisi yang ideal : “Prinsipnya, setiap anggota Polri harus cepat dalam bertindak melayani dan tidak transaksional. Jangan sampai gara-gara laporan hilang ayam, eh setelah lapor malah kambingnya juga ikut hilang. Itu yang saya harapkan ke depan tidak terjadi lagi dengan mekanisme pengawasan.”
Menghilangkan stigma buruk terhadap imej dan kinerja polisi seperti harapan itu tampaknya tidak semudah membalik telapak tangan. Ia harus dilakukan juga secara holistik, menyeluruh, berkelanjutan, dan juga mengikutsertakan peran masyarakat. Di sini masyarakat harus dilihat sebagai mitra Polisi dan jangan sebagai pihak yang hanya dianggap merongrong integritas polisi lewat opini dan komentar mereka. Berbagai sorotan dan kritikan mereka harus dilihat sebagai refleksi pantauan atas kinerja kepolisian dalam penyidikan dan penyidikan yang memang masih sering dianggap kurang profesionl, transparan dan kualitas maupun efektifitasnya dipertanyakan.
Mencuatnya perhatian besar masyarakat seperti kasus Luwu satu contoh dari fenomena masih pentingnya menghilangkan stigma terhadap imej buruk kepolisian. Ia harus dijadikan sebagai ejawantah pengawasan publik bagi kerja polisi dalam melayani masyarakat secara efektif, efisien, humanis dan memenuhi kepekaan dan keadilan yang sesuai standar. Menghilangkan imej negatif sebatas wacana dan slogan bukanlah solusi yang baik dan berkelanjutan untuk menghilangkan stigma yang dilukiskan dalam anekdot lama ‘Kambing dan sapi dan polisi’ Selain dikawatirkan tidak akan menghilang. Ia justru dikhawatirkan akan makin muncul dan muncul kembali ketika tuntutan masyarakat atas perbaikan keadilan belum benar-brnar ditegakkan. (Isk – dari berbagai sumber).
Baca juga : Terkait oknum polisi banting mahasiswa di Tangerang, Mabes Polri tindak oknum polisi tidak profesional