Menyikapi masalah kebakaran Lapas Tangerang, Menko Polhukam Mahfud MD berencana membangun penjara baru untuk mengurangi kepadatan hunian yang lebih manusiawi di atas tanah sitaan kasus BLB. Lebih jauh lagi, Menkumham Yasonna Laoly menyatakan bahwa rutan masih terlalu didominasi oleh narapidana narkotika. Karenanya ia menyatakan bahwa aturan mengenai narapidana kasus narkotika harus diperbaiki sebagai bagian yang inklusif. Ia meyakini revisi Undang-undang Narkota bisa mengubah situasi ini. Revisi UU No 35/2009 menurutnya sudah masuk prolegnas. Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulihin mengakui memang ada problematika dalam UU Narkotika. Regulasi itu belum mampu memisahkan antara pengguna, pemilik dan pengedar narkoba. Namun demikian, persoalan menyangkut Lapas dan tahanan kepolisian oleh pihak berwenang seringkali masih dilihat sebagai solusi yang kurang berkelanjutan, miskin visi dalam mencari penyelesaian jangka panjang untuk persoalan yang semakin kompleks.
Sebagian pengamat menyatakan bahwa sistem peradilan di Indonesia perlu dibenahi karena masih melihat penjara sebagai ruang penghukuman. Penegakan restorative justice juga perlu digunakan guna mengatasi ketidakseimbangan antara jumlah tahanan dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia. Dengan banyaknya jenis kriminalitas baru dalam Undang-Undang, beban Polisi bertambah berat dan perlu anggaran yang lebih memadai memadai.
Jakarta, 13 September 2021. Kebakaran sebuah lapas kembali lagi terjadi di Indonesia. Kali ini terjadi di Lapas kelas I Tangerang pada Rabu dini hari, 9/9/2021. Kebakaran ini peristiwa serius dan memilukan karena lebih dari 44 orang narapidana dilaporkan meninggal terpanggang api tanpa bisa menyelamatkan diri dari sel nya. Sebagian besar korban sulit dikenali sementara proses identifikasi mereka agak sulit dan masih berlangsung karena kondisi jenazah. Sebagian tahanan yang berjumlah puluhan lainnya selamat meski harus mengalami luka-luka baik ringan maupun berat.
Terjadinya musibah ini mencuatkan kembali ke permukaan wacana persoalan yang sudah lama dihadapi dalam penanganan lapas maupun tahanan Polri di Indonesia selama ini. Peristiwa naas ini menjadi sorotan media yang berulangkali menekankan peristiwa ini telah menambah catatan panjang dari peristiwa kebakaran yang selama ini selalu menimpa lapas di Indonesia dalam tahun-tahun terakhir dengan korban yang tidak sedikit. Bukan hanya persoalan kebakarannya yang mengemuka dan kembali disorot, namunj juga masalah-masalah lain yang terkait, yakni mengenai miskinnya fasilitas pengamanan, faktor maupun faktor kelebihan penghuni di Lapas maupun tahanan. Banyak pihak tergelitik mengetahui sejauh mana gambaran permasalahan ini bila dipandang dari waktu ke waktu.
Perbedaan Lapas dan Rutan
Pertama-tama perlu dijelaskan mengenai perbedaan antara Lapas dan Rutan yang dibicarakan. Tidak semua pihak di masyarakat menyadari bahwa meskipun sama-sama sebagai tempat penahanan, lapas sebenarnya berbeda dengan rutan. Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No 33 tahun 2015 tentang Pengamanan pada lembaga dan Rumah TahananNegara bab 1 Pasal 1 ayat (1) rutan tempat tersangka atau terdakwa yang ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaaan di sidang pengadilan. Mereka adalah seseorang yang belum terbukti melakukan tindak pidana. Fungsi rutan adalah tahanan sementara bagi mereka.
Di sisi lain, Lapas, menurut Permenkumham Nomor 33 Tahun 2015 Pasal 1 Ayat (2) merupakan tempat melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Mereka yang ditahan di lapas adalah orang-orang yang sudah terbukti melakukan tindak pidana oleh pengadilan sehingga diberi status narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Lamanya seorang narapidana ditahan di lapas bergantung dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kebakaran Lapas Tangerang Cermin Umum Kondisi Lapas
Dilaporkan bahwa sistem kelistrikan yang buruk telah menjadi sebab terjadinya arus pendek yang menyulut kebakaran besar di Lapas Tangerang yang didirikan tahun 1972 itu. Persoalan dalam sistem komando di Lapas itu juga dianggap membuat, penjaga yang bertugas tidak meampu membuka pintu sel untuk menyelamatkan tahanan yang tidak beruntung tersebut. Kebakaran di suatu Lapas bukan masalah khas yang dihadapi Indonesia saja. Di negara-negara yang sistem penjaranya buruk, kasus seperti ini juga kerap terjadi. Peristiwa kebakaran penjara yang menewaskan banyak narapidananya pernah terjadi di penjara Cornayagua Honduras dan menewaskan 360 orang korban.
Lapas yang overcrowded seperti itu juga merupakan wajah lapas yang dikenal di Indonesia selama ini. Menurut laporan Koalisi Pemantau Peradilan pada Maret 2020, saat ini terdapat 270.466 narapidana yang sedang menghuni lapas-lapas di Indonesia. Mereka umumnya berdesak-desakan di kamarnya karena total kapasitas lapas di Indonesia secara teori hanya mampu menampung 132.335 orang narapidana saja. Secara detail, menurut catatan PBHI, ada lima lapas di Indonesia yang over kapasitas di atas 200 persen. Lapas tersebut antara lain adalah Rutan Bagan Siapi-api, Lapas Kelas IIB IDI, Lapas Kelas II Kerobokan, Lapas Kelas IIB Tasikmalaya dan Lapas Kelas IA Tangerang yang mengalami kebkaran tersebut.
Data dari laman Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham, menyatakan kelebihan kapasitas (overcapacity) terjadi hampir di semua provinsi di Indonesia. Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadivpas) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Riau, M Hilal mengakui bahwa seluruh lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah tahanan negara (Rutan) di Provinsi Riau sudah jauh melebihi kapasitas. Dari 34 provinsi, hanya enam provinsi yang diketahui tidak mengalami kelebihan kapasitas, yaitu provinsi DI Yogyakarta, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Sulawesi Barat.
‘Over crowded’ jadi masalah
Kejadian kebakaran dan overcrowded tampaknya bukan model baru karena mirip dengan kasus-kasus kebakaran-kebakaran di lapas lainnya di seluruh Indonesia. Laporan menunjukkan bahwa LapasTangerang sebenarnya hanya mampu menampung maksimum 900 tahanan, namun kenyataannya menampung 2.072 orang tahanan. Ini merupakan pemandangan yang biasa di lapas-lapas lainnya pula. Menurut peneliti Imparsial Hussein Achmad, over kapasitas juga bentuk dari perlakukan yang tidak manusiawi itu. Masalah itu menurutnya masih terus berulang dan tidak pernah selesai. Pemenuhan hak warga binaan pemasyarakatan (WBP) dan tahanan yang sangat rendah dan rawan memunculkan kerusuhan di dalam rutan maupun Lapas.
Beban untuk mengakomodir lebih dari 200 persen kapasitasnya telah menjadi pemicu munculnya dampak dan efek yang fatal tersebut. Peristiwa ini mencuatkan kembali persoalan over kapasitas di Lapas di seluruh Indonesia. Adanya over kapasitas tidak saja memunculkan kondisi yang tidak manusiawi di dalamnya namun juga berbahaya. Terjadinya kebakaran itu jelas refleksi dari resiko dampak kelebihan kapasitas ini sudah diprediksi berpotensi terjadi. Pertama-tama, luas kamar, kondisi di dalam sel (kamar) yang berdempet-dempetan sudah tidak layak dan maksimal. Seperti yang selama ini sudah sering dilaporkan, sudah sering dilaporkan muncul masalah-masalah seperti sanitasi, pelayanan kesehatan dan dampak-dampak kesehatan buruk termasuk kesehatan mental, yang mengenai narapidana di dalamnya.
Menurut catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), sebanyak 13 lapas di Indonesia yang padat itu sudah terkena musibah kebakaran selama tiga tahun terakhir. Dalam catatan selama ini, terdapat 5 rutan dan lapas yang terbakar. Kebakaran di Lapas Manado kelas IIA April 2020 konon diawali dengan terjadinya kerusuhan, Menurut para pakar, dalam kondisi lapas yang buruk meledaknya kerusuhan amat dimungkinkan terjadi. Lapas yang overcrowded berpotensi menciptakan kerusahan karena terganggungunya ketertiban dan keamanan.
Respon publik
Persoalan tersebut sudah lama diketahui dan sudah didengang-dengungkan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil termasuk dunia internasional. Ia menjadi masalah klise yang kerap terjadi dan selalu menimbulkan akibat fatal dan umumnya masalah kebakaran yang tidak terbatas pada satu tempat saja. Munculnya masalah baru kebakaran di Lapas Tangerang menurut New York Times telah memicu kembali perdebatan mengenai sistem penjara di Indonesia yang sudah tidak update lagi. Selain masalah fasilitas, ditengarai juga persoalan sumberdaya penjaga lapas yang sedikit sehingga tidak mampu memantau ribuan penghuninya yang padat tersebut.
Masalah yang terjadi berulang-ulang ini harus dicegah karena merupakan pelanggaran Hak asasi manusia atau HAM. Prinsip dasar HAM harus diberlakukan dalam penerapan sistem pemasyarakat tersebut. Menurut peneliti Imparsial Hussein Achmad, warga binaan di lapas memilih hak ydiperlakukan sesuai dengan HAM. “Setidak-tidaknya ini adalah perlakuan yang tidak manusiawi yang secara sistematis dilakukan oleh negara. Negara sudah tahu masalahnya, tapi tetap dibiarkan,” kata Hussein. Divisi Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Chikita Edrini Marpaung juga menyatakan pemerintah dapat diduga melakukan pelanggaran HAM dalam hal ini. (12/9)
Warisan Masa Lalu
Perlakuan terhadap narapidana dan tahanan di Indonesia yang tidak manusiawi dan kesengsaraan sudah lama terjadi, bahkan sejak masa penjajahan Belanda. Penerapan Lapas yang overcrowded sebenarnya bentuk dari ketidakpedulian seperti yang ditunjukkan pada masa lalu. Dalam era kemerdekaan. secara formal sistem pemasyarakatan sudah diperbaiki. Secara resmi ia dicetuskan pada tanggal 5 Juli 1953 oleh Menteri Kehakiman RI Dr. Suharjo, SH. Adapun isi pidatonya menyatakan bahwa pohon beringin pengayoman ditetapkan menjadi sumber hukum dan Lambang Departemen Kehakiman agar menjadi penyuluh bagi para petugasnya dalam membina hukum menjalinkan peradilan guna memberi keadilan, dalam melakukan narapidana.
Di bawah pohon beringin pengayoman telah ditetapkan tugas untuk penyuluh dalam memperlakukan narapidana yang tujuannya yakni untuk membimbing narapidana karena dihilangkan kemerdekaan bergerak, membimbing narapidana agar bertaubat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat Indonesia yang beragama, dengan singkat menjadi tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan.
Menurut UU No. 12 Tahuun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 3 disebutkan bahwa fungsi Pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan pemasyarakatan (narapidana, anak didik dan klien pemasyarakatan ) agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Beberapa penjara masa kolonial ternyata masih diteruskan sebagai Lapas sejak masa kemerdekaan. Tampaknya mereka masih belum sepenuhnya meninggalkan kesan menyeramkan bahkan sampai detik ini. Sebagai contoh, Rumah Tahanan Negara (Rutan) Tanjungpinang di Kepulauan Riau yang dibangun sejak 1867 masih terus digunakan sampai sekarang dan masih menyimpan duka dari orang-orang yang tidak diperlakukan secara manusiawi. Sejumlah terdakwa dan narapidana atau napi di tempat ini, baru-baru ini buka suara, berkeluh kesah selama berada di penjara. Mereka merasa harus bicara agar Rutan Tanjungpinang dibenahi, tanpa pungli.
Bagi tahanan yang tidak memiliki cukup uang, penjara ini seperti gambaran neraka. Sehari-hari, mereka merasa sengsara menjalani kehidupan di penjara. Makan dengan lauk yang ala kadarnya, terkadang mandi dua hari sekali, dan tidur bergabung dengan puluhan terdakwa dan napi lainnya. Napi dari keluarga tidak mampu merasa bukan hanya fisik yang disandera, melainkan juga batinnya tersiksa. “Stres panjang. Terkadang ingin mengamuk,” kata salah seorang napi kasus pidana umum, Badu 25 Juli 2018 yang silam.
Masalah di dalam lapas dan rutan bukan baru kali ini terjadi. Praktik pemalakan dan jual beli narkoba lazim dilakukan di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) jelas Surya Anta yang sempat ditahan di Rutan Salemba, Jakarta. Menurut catatan sejarah berbagai kerusuhan pernah terjadi di Lapas maupun Rutan. Misalnya kerusuhan di Lapas Banda Aceh November 2015 karena ketidaktersediaan air untuk mandi, kerusuhan antar napidi Lapas kerobokan, Desember 2015, insiden pembakaran di rutan Bengkulu 25 Maret 2016, Napi yang mengamuk dan membakar penjara di lapas Narkotika Bandung (2016), kaburnya tahanan di Pekanbaru (2017) kaerna kondisi rutan yang kelebihan tahanan dan masih banyak lagi.
Jelaslah bahwa filosofi dan pendekatan pengelolaan lapas atau rumah tahanan yang mestinya menerapkan paradigma baru menyangkut pemenuhak hak-hak dan kewajiban narapidana tidak sepenuhnya diterapkan. Institusi penjara yang seharusnya menjadi lembaga edukasi yang melatih para narapidana mempelajari berbagai kemampuan dan keterampilan mereka untuk menata kualitas hidup dengan demikian terhambat. Perlu dicarikan cara-cara perbaikan dan solusi yang baik.
Perbaikan Sistem Peradilan Indonesia?
Persoalan yang dihadapi oleh lapas seringkali ditunjukkan dengan cara pencopotan kalapas yang terkait. Pihak polisi datang ke lokasi mengamankan. Inspeksi mendadak ombudsman juga sudah dilakukan di sejumlah Lapas. Menyikapi masalah kebakaran Lapas Tangerang, Menko Polhukam Mahfud MD berencana membangun penjara baru untuk mengurangi kepadatan hunian yang lebih manusiawi di atas tanah sitaan kasus BLB. Lebih jauh lagi, Menkumham Yasonna Laoly menyatakan bahwa rutan masih terlalu didominasi oleh narapidana narkotika. Jumlah mereka bahkan mencapai 50% dari total keseluruhan narapidana di Indonesia di luar kasus-kasu lain seperti pembunuhan, pencurian dan terorisme.
Karenanya ia menyatakan bahwa aturan mengenai narapidana kasus narkotika harus diperbaiki sebagai bagian yang inklusif. Ia meyakini revisi Undang-undang Narkota bisa mengubah situasi ini. Revisi UU No 35/2009 menurutunya sudah masuk prolegnas dan akan dibahas. Kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulihin mengakui memang ada problematika dalam UU Narkotika. Regulasi itu belum mampu memisahkan antara pengguna, pemilik dan pengedar narkoba. Hukuman alternatif selain penjara yang bisa digunakan adalah kerja sosial, pidana pengawasan, pidana denda, rehabilitasi dan rawat jalan bagi pengguna narkoba.
Keberlanjutan dan Restorative Justice
Meski demikian, persoalan menyangkut Lapas dan tahanan kepolisian oleh pihak berwenang selama ini seringkali masih dilihat sebagai solusi yang kurang berkelanjutan, miskin visi menyelesaikan masalah jangka panjang yang makin kompleks. Para pengamat menyatakan bahwa sistem peradilan di Indonesia lah yang perlu dibenahi karena penjara masih dilihat sebagai ruang penghukuman. Menurut peneliti ICJR Maidina Rahmawati, pemberian hukuman penjara 52 kali lebih digunakan dibanding pidata alternatif lainnya.
Penegakan restorative justice juga uperlu digunakan guna mengatasi ketidakseimbangan antara jumlah tahanan dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia. Dengan banyaknya jenis kriminalitas baru yang tercakup dalam Undang-Undang, beban polisi kini bertambah berat dan anggaran yang memadai perlu disediakan. Sementara itu, penerapan restorative Justice diharapkan dapat memberik kesempatan kepada seseorang yang tidak pernah melakukan tindakan kriminal sepanjang hidupnya ketika berhadapan dengan hukum formal. Restorative justice adalah menjanjikan karena berperan mengembalikan wajah kemanusiaan dalam hukum Indonesia yang cenderung selama ini masih menghukum pelanggar undang-undang dan bukan menghukum seorang kriminal. Restorative justice pada akhirnya akan menurunkan beban anggaran dari instansi hukum seperti kepolisian terkait proses penyelidikan.
Baca juga : Kapolri Wanti-wanti Anak Buah Awasi Wisatawan agar Tak Kabur Karantina
(Isk – dari berbagai sumber).