Seni mural kini menjadi medium yang didedikasikan untuk melawan masalah-masalah ketidakadilan, rasisme, lingkungan hidup dan masalah politik secara umum. Selain itu juga sarana memperjuangkan emansipasi, kebebasan berpendapat, aktivisime sosial bahkan keperluan propaganda. Karenanya, di mana-mana ia menjadi obyek represi oleh aparat penegak hukum. Tembok-tembok kosong di ruang publik kini dimanfaatkan secara maksimal oleh seniman mural, mereka yang tidak bisa atau tidak memiliki tempat mengekpresikan diri pada media lain, termasuk di media sosial. Sebaliknya, karya mural kini malah terbantu berkat peran yang dimainkan media sosial dalam mempromosikan mural tertentu termasuk dari kasus penghapusan mural yang viral di Indonesia. Sejak menjadi bagian Urban arts (seni urban) seni mural kini juga semakin banyak digunakan sebagai alat kampanye promosi dan desain, memanfaatkan setinggi-tingginya keahlian dan bakat seniman mural setempat dengan gaya khas mereka masing-masing. Penekanan terutama diberikan pada fungsi mural yang dibiarkan berbicara untuk kepentingan komunitasnya, bangsa, budayanya serta demi tujuan kebaikan bersama.
Jakarta, 17 September 2021. Suatu lomba mural segera akan digelar oleh Polri lewat Divisi Humas bulan Oktober mendatang. Pemenangnya disediakan Piala Kapolri. Demikian konfirmasi dari Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono belum lama ini. Informasi mengenai munculnya penyelenggaraan lomba ini sangatlah menarik karena hadir sesudah sejumlah mural yang bernuansa penuh kritikan dihapus aparat dengan alasan menganggu ketertiban umum. Seperti diketahui, sejumlah mural dihapus dan senimannya juga diamankan. Di antara mural tersebut berjudul Jokowi 404: Not Found. Mural yang bagian matanya ditutupi dengan tulisan 404: Not Found dan berlatar merah muncul di Batuceper, Tangerang dan dianggap telah menghina Presiden Jokowi sebagai lambang negara Presiden. Sedangkan mural lain yang berjudul ‘Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit’, muncul di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Ada pula mural sosok mirip Presiden Jokowi yang mnucl di jembatan layang Pasupati Bandung, Jawa Barat yang kemudian juga menjadi viral.
Penghapusan mural-mural tersebut mendapat sorotan dan reaksi keras publik. Mereka menganggap polisi sebagai aparat kemananan bersikap terlalu reaktif dan pemerintah Jokowi dianggap anti kritik. Presiden Jokowi kemudian menyatakan ia terbuka dengan segala kritikan seperti yang mengacu pada konten-konten mural tersebut. Kritikan-kritikan pedas katanya sudah kerap diterimanya, bahkansudah menjadi makanan sehari-harinya. Ia terbuka untuk berdialog dengan pengkritiknya terbuka, seperti yang ditunjukkannya baru-baru ini saat Presiden mengundang Suroto menemuinya di istana.
Sebagaimana diketahui, Suroto adalah seorang peternak yang sempat membentangkan spanduk protes kepada iring-iringan presiden saat berkunjung ke Blitar (7/9 lalu), dengan tulisan “Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar.” Dicap sebagai suatu tindakan represif karena menghapus karya mural dan menangkap seniman pembuatnya, Kapolri kemudian menyatakan bahwa itu kebijakannya namun tindakan petugas di lapangan. Ketika kebijakan bernada alergi terhadap kritikan disebutkan datang dari Polres, pihak Kapolres justru kemudian menyalahkan Polsek di bawahnya.
Berdasarkan surat telegram Kapolri dengan nomor: STR/862/IX/PAM.3./2021 tertanggal 15 September 2021, Kapolri mengharapkan agar jajaran Polri bisa menyikapi penyampaian aspirasi masyarakat secara lebih humanis. Apakah penyelenggaraan Lomba Mural oleh Polri mendatang itu perwujudan Polri untuk menyikapi persoalan mural yang sempat mencuat itu? Tampaknya ada hubungan yang erat dalam hal ini. Lomba mural ini bertema generasi muda, prokes dan Covid-19 tingkat nasional ini, tampaknya merupakan respon positif guna menampung kreativitas para seniman mural di Indonesia yang diarahkan kepada hasil bagi kepentingan bersama yang bermanfaat.
Kritikan
Rencana penyelenggaraan lomba ini tidak langsung disambut baik oleh sejumlah pihak, termasuk para seniman mural. Mereka menilai lomba ini sebagai sesuatu yang tidak berharga, sia-sia dan bahkan sama sekali tidak akan mengubah sikap pemerintah Jokowi yang lebih terbuka terhadap kritik. Mereka menyatakan keengganannya ikut berpartisipasi atau terlibat di dalamnya. Seniman mural dari Anti-Tank Project, Andrew menyatakan kegiatan ini akan sama sekali tak berkontribusi bagi perbaikan pemerintahan. “Menurut saya Polri adalah lembaga terburuk bersama DPR, juga karena kegiatan itu tak berkontribusi pada perbaikan lembaga, jadi akan sia-sia mengikutinya,” katanya.
“Bila nantinya lomba ini hanya mengakomodasi kepentingan pemerintah, ya sama saja ini akan menjadi indoktrinasi publik melalui medium mural, tanpa memberikan ruang bagi suara-suara yang berbeda,” tutur artis mural dari kota Yogyakarta ini. Andrew menganggap tidak masalah lewat Polri pemerintah mengadakan lomba mural. Hanya saja, dia menganggap ada keganjilan karena diselenggarakan di tengah banyaknya kritik terhadap pemerintah karena sebelumnya justru telah menghapus mural berbau kritik. Karenanya, tidak sedikit yang berpendapat bahwa lomba mural hanyalah cara pemerintah untuk kembali mendapatkan kepercayaan publik dalam soal kebebasan berekspresi. Bagi seniman Anagard mengikuti lomba ini jelas tak sesuai dengan prinsip seninya.
“Bagi saya lomba itu tidak sesuai kompetensi saya, malah akhirnya menjatuhkan nilai dan sikap saya dalam karya selama ini, enggak sesuai dengan prinsipil,” jelasnya. Tema mural yang dipilih dalam lomba tersebut juga dipertanyakan. Ia menduga-duga apakah Polri mau memilih tema mural yang berisi kritik agar sekaligus bisa menjadi masukan bagi pemerintah. “Saran saya sih temanya kritik kepada pemerintah agar membangun pemerintah biar bisa sadar apa yang sebaiknya dilakukan saat ini,” demikian cetusnya.
Seni mural Indonesia Muncul ke Permukaan
Selain kritikan ditujukan terhadap rencana penyelenggaraan lomba mural ini, sebenarnya ada beberapa hal menarik yang perlu dicermati sejak kasus penghapusan mural menjadi viral. Menurut beberapa pengamat seni dan budaya, aksi penghapusan mural oleh aparat dan respon bahwa aksi itu simbol sakral represi merupakan fenomena menarik. Semakin kontennya dianggap radikal ia semakin dianggap penting dan dicari-cari. Apalagi bila mural itu dicap telah mengusik ketertiban umum sehingga harus diamankan. Masyarakat melihat adanya ukuran atau barometer tertentu yang sekarang diterapkan guna mengusik demokrasi dan kebebasan masyarakat dari rezim yang berkuasa.
Namun sebenarnya, ancaman terhadap eksistensi mural karena adanya pesan yang ditakuti tidak saja dihadapi di Indonesia tapi juga di banyak negara lain di dunia. Bahkan yang sudah maju sekalipun. Selain itu tampaknya juga ada pengaruh antara satu mural yang kontroversi dengan kelahiran mural lain di tempat lain. Mural bertema Black Lives Matter sebagai protes atas aksi brutal polisi di New York terhadap George Floyd, telah menginspirasi artis mural Australia untuk menghidupkan mural yang sesuai dengan konten lokal Australia sebagai ekspresi protes. Mural bertema rasisme dan ketidakadilan terhadap orang Aborijin itu kemudian mendorong pihak kepolisian NSW Australia untuk bertindak.
Mereka mendorong penghapusan mural yang hadir kokoh di pusat pemukiman orang Aborijin Redfern Australia kepada penguasa kota Sydney. Seain dengan alasan tidak berizin, isinya juga dianggap telah mengganggu ketertiban umum. Pihak pemerintah kota pada awalnya merasa tidak bisa menghapus mural yang dibuat di properti milik pribadi begitu saja. Apalagi sang artis sudah memperoleh izin dari pemilik properti di mana mural itu berada. Sebuah mural juga tidak bisa dihilangkan bila tidak terbukti mempromosikan isu rasisme dan penggunaan bahasa kasar sesuai “Graffiti Control Act” (2014). Namun pihak kepolisian tetap bersekukuh dengan keputusannya dengan alasan mural itu memperlihatkan simbol mobil polisi yang terbakar. Banyak keberatan dilayangkan oleh anggota masyarakat yang tersinggung atas isi mural yang berpotensi menarik liputan luas dari media.
Masyarakat Australia juga bereaksi dan menganggap tindakan itu bagian dari sensor kebebasan berekspresi. Polisi dianggap seharusnya tidak diberikan kekuasaan merusak seni yang diproduksi di rumah pribadi seseorang. Apalagi menurut Mike McNamara, Co-director of the UNSW Centre for Crime, Law and Justice, seniman mural tidak bisa dinyatakan melawan hukum kriminal kalau sudah mendapatkan persetujuan pemilik tembok yang digunakannya untuk mengekspresikan karya protesnya. Jelaslah selalu ada tarik-menarik soal izin mural dan tekanan yang datang dari atas. Namun demikian, penciptaan dinamika balans dan alasan mengekspresikan seni dalam ruang publik sebenarnya sebenarnya tidak boleh dikekang. Dalam banyak kasus, penghapusan suatu mural yang represif justru melahirkan mural-mural sejenis selanjutnya.
Seperti juga di Indonesia, tindakan represi dari aparat keamanan terhadap suatu mural justru menariknya malah membuat suatu mural menjadi lebih dikenali, terkenal dan lebih mendapat perhatian publik. Lebih jauh lagi, makna dari pesan di mural itu malahan menjadi lebih mendalam karena perhatian dan pembahasan yang tercipta kemudian. Ia juga dapat lebih menghidupkannya daripada mematikannya. Penyelenggaraan ‘Lomba Mural Dibungkam’, yang bertepatan dengan perayaan Hari Demokrasi Internasional 15 September bulan Agustus lalu adalah satu contohnya. Acara ini menunjukkan bahwa masyarakat dan seniman mural di Indonesia jumlahnya tidak sedikit. Mereka memiliki suara-suara yang tidak dapat diabaikan. Apalagi sesudah mendapat aksi reaktif polisi menghapus mural rekan-rekan mereka.
“Lomba ini membuka kita untuk melihat apa sih yang terjadi, apa sih masalahnya, apa sih akarnya. Yang kita lihat hari ini oligarki politik, oligarki kooperatif, oligarki ekonomi, oligarki militer, macam-macam.” kata Mimin Muralis (bukan nama sebenarnya). Melihat jenis-jenis kategori bagi pemenang dalam lomba itu, jelas menunjukkan bahwa penyelenggaranya sangat kreatif. Pemenang pada lomba ini dibagi dalam 14 kategori yang berbeda, misalnya mural Paling Nyentil, Paling Mengusik hingga Paling Keras Kepala. Piagam pemenang lomba mural kritik Gejayan Memanggil ini dipajang di tembok bawah Jembatan Kleringan Kewek, Danurejan, Kota Yogyakarta, yang menunjukkan bahwa ruang publik juga milik mereka.
Dari respon dan pemberitaannya, peristiwa ini jelas menunjukkan bahwa seni mural, juga sedang menjamur di Indonesia. Tantangan hidup keras yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19 semakin membuat kehadiran mereka penting untuk memberikan suara-suaranya. Ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi, ketiadaan transparansi, tingginya formalitas, dan kurangnya partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa, bernegara tidak mengherankan menjadi tema-tema yang paling mengemuka. Energi frustrasi yang meletup-letup di masyarakat justru harusnya diakomodir dan bukan direpresi secara picik. Karya mereka jelas merupakan cerminan apa yang sedang berlangsung di dalam masyarakat yang mesti dicari solusinya. Pertanyaannya adalah apakah sifatnya yang radikal, perlawanan dan keras dapat dengan mudah diakomodir?
Seni Mural Sudah Lama Berevolusi
Usia seni mural sebenarnya sudah setua peradaban manusia itu sendiri. Sejarah muncul dan berkembangnya seni mural menunjukkan bahwa manusia sudah mengekspresikan eksistensinya sejak masa prasejarah dan tidak berhenti hingga sekarang. Seniman mural tertua di dunia yang menarik ternyata berasal dari Indonesia. Baru-baru para arkeolog yang dipimpin Basran Burhan dari Universitas Griffith Australia menunjukkan bahwa mural bergambar babi hutan yang ditemukan di gua Leang Tedongnge Sulawesi berusia 45,500 tahun. Tradisi itu terus berjalan dalam masyarakat di Indonesia hingga dewasa ini.
Menurut ahli Art history Angie Kordic, sejak munculnya lukisan di gua tersebut sampai munculnya mural modern sebagai bagian dari Urban Art aau seni jalanan, seni mural terus berevolusi. Sejak digunakan sebagai upaya menyiratkan aktivitas kehidupan sehari-hari, tradisi keagamaan, seni mural sudah makin tersebar ditemukan di gua-gua, candi, gedung-gedung publik, istana, kampung dan museum sebagai bagian arsitektur yang penuh mengandung nilai-nilai dan cerita berharga. Lama kelamaan mural mulai menjadi alat komunikasi visual yang lebih bertenaga ketimbang hanya soal estetis, dan makin digunakan untuk menyampaikan opini untuk pesan-pesan politik dan sosial. Dari sinilah mulai munculnya aspek kontroversi seni mural dan makin menjadi-jadi sejak era 1960-an hingga sekarang.
Medium radikal dan perlawanan semata?
Mural kini menjelma menjadi medium yang didedikasikan untuk melawan masalah-masalah ketidakadilan, rasisme, lingkungan hidup dan masalah politik. Ia juga menjadi sarana pencapaian emansipasi, kebebasan berpendapat, ranah aktivisisme sosial bahkan dijadikan alat propaganda. Tembok-tembok kosong di ruang publik di mana-mana di dunia semakin dimanfaatkan secara maksimal oleh seniman mural yang tidak bisa atau tidak memiliki tempat mengekpresikan diri di media lain seperti media sosial. Sebaliknya karya mereka terbantu promosinya hingga menjadi viral berkat peran media sosial seperti tampak pada fenomena penghapusan mural di Indonesia itu.
Pendeknya, unsur kelam, radikal dan perlawanan dan sebenarnya sudah tampak sejak mural muncul sebagai seni publik yang penting. Tidak terbantahkan unsur protes, perlawanan dan radikalisme merupakan aspek kuat mural sebagai produk budaya suatu masyarakat. Perlakuan aparat yang buruk terhadap mural sudah lama berlangsung. Ini tampaknya bisa dikaitkan dengan perlakukan aparat terhadap seni grafitti. Sama-sama masuk sebagai seni jalanan, keduanya sebenarnya berlainan. Sejarah seni grafitti berhubungan erat dengan munculnya kejahatan ‘gang culture’ di perkotaan. Pihak aparat memiliki sejarah merepresi pembuat graffity sebagai bentuk aksi vandalisme. Sementara itu, mural sering dianggap lebih merupakan ekspresi visi dibanding vandal.
Sekarang ini, baik grafiti maupun seni jalanan dipergunakan sebagai alat mengekspresikan masalah sosial dan medium menyuarakan perubahan sosial dan pernyataan masyarakat. Namun demikian sikap aparat terhadap grafitti masih membekas ketika mereka berurusan dengan seni mural dan seniman-senimannya.
Mural, seni urban dan pesan positif
Sejak menjadi bagian integral Urban arts (seni urban) seni mural mulai banyak digunakan sebagai alat kampanye promosi dan desain, dengan cara memanfaatkan sebesar-besarnya keahlian dan bakat seniman mural setempat karena gaya masing-masing yang khas. Penekanan karya mural diberikan pada fungsi mural yang penting bagi komunitas, bangsa dan budaya hidup dimana mural itu hadir.
Kehadiran mural kini sudah diterima dengan baik di seluruh dunia karena telah memperkaya desain perkotaan di mana publik dapat memberikan kontribusinya untuk identitas, persatuan, kebanggaan dan rasa kebersamaan mereka. Seni mereka berkontribusi secara tidak langsung dalam memperkaya kehidupan masyarakat dan pengunjung tempat itu. Tidaklah mengherankan seni mural bahkan di negara-negara seperti Australia atau Hong Kong menjadi daya tarik wisata.
Seni mural memiliki tendensi menguasai suatu tempat atau spasial dan bisa mempengaruhi siapa saja, tidak terbatas kelas, pendidikan atau etnik. Pengaruh inilah yang sering ditakutkan oleh aparat karena bisa membentuk opini, menorehkan nilai dan dianggap bisa mendorong orang menjadi radikal.
Di lain sisi, seni mural juga berpotensi membawa komunitas bisa bekerja bersama, mengurangi stres bersama dan menciptakan rasa aman bersama dalam masyarakat. Mural memungkinkan dialog, partisipasi dan proses pencarian solusi atas suatu persoalan bersama. Seniman mural setempat merasa memberikan kontribusi kepada masyarakatnya dan bersedia ikut berjuang bersama lewat kemampuan seninya.
Pendeknya, seni mural memiliki banyak dimensi, bisa politis, bisa hanya melulu soal keindahan atau menjadi alat promosi dan kampanye visi bersama. Sebagian seni mural telah memperindah tembok-tembok yang semula membosankan. Sebagian lagi menginspirasikan dan membanguna kesadaran masyarakat untuk menjadi warganegara yang baik dan bertanggungjawab. Seni mural bisa menjadi bahan renungan dan upaya mentransformasikan hal-hal yang perlu mendapat perhatian masyarakat.
Mengubah nyinyiran menjadi ekspresi seni yang bermanfaat
Tidak dapat disangsikan seni mural memang makin digunakan sebagai medium mengekspresikan sikap politik yang kritis dan didasarkan pada pengetahuan, pengalaman masyarakat untuk melawan ketidakbenaran. Profesor David Reeve dari University of New South Wales Australia dalam risetnya mengenai seni Angkot Padang, menyatakan betapa kaya dan pentingnya seni budaya visual yang dimiliki Indonesia termasuk seni mural, seperti tampak pada kreativitas dalam segi bahasa dan visual artis-artis dari Minangkabau. Bakat mereka adalah bagian dari local genious (kearifan budaya), direalisasikan dalam seni pada angkot-angkot mereka yang mengesankan. Hal itu bagi Barat merupakan daya tarik tersendiri mengenai budaya Minang dan Indonesia dewasa ini.
Banyak karya mereka mencerminkan masyarakat Indonesia yang sedang berubah namun juga menunjukkan penerusan tradisi yang kaya dan penuh nilai. Ironisnya, bakat dan keahlian itu sering dianaktirikan. tidak mendapatkan tempat dan malahan dihujat karena tidak sesuai dengan nilai-nilai adiluhung. Merujuk pada pernyataan di atas, penyelenggaraan lomba seni mural secara nasional oleh Polri patut disambut gembira. Ia bisa menjadi salah satu langkah yang mengakomodir talenta-talenta seni di atas kontroversi yang muncul mengenai seni mural di Indonesia.
Dorongan kreatif dan kesenian dalam masyarakat sudah saatnya lebih dirangkul, dimenangkan dan dirayakan sesuai dengan konteks masalah yang sedang dihadapi. Pihak Polri telah memilih suatu lomba yang lebih ingin menciptakan genre seni mural sebagai bentuk kampanye kesadaran kesehatan dalam masyarakat. Inipun merupakan bentuk untuk mengekspresikan kreativitas. Penciptaan acara ini menunjukkan kesigapan dan upaya Polri Presisi mengangkat kegairahan seni mural agar lebih konstruktif dan relevan dengan tantangan generasi muda dan bangsa menghadapi pandemi Covid-19. Selain bentuk realisasi menampung aspirasi masyarakat secara humanis, banyak netizen yang mengharapkan agar dalam acara ini dapat dihindari sanjungan-sanjungan atau puja puji formalitas dan seremonial yang hanya untuk menenangkan masyarakat.
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana bisa mengubah mural sebagai nyinyiran menjadi ekspresi seni yang bermanfaat bagi masyarakat. Adalah sangat disayangkan bila penyelenggarannya mengabaikan segi profesionalisme dan penilaian kritis terhadap seni mural sehingga tidak dapat maksimal menjembatani kesenjangan pemahaman antara aparat kepolisian dan masyarakat.
Akhirnya, acara seperti ini berpotensi menjadi agen penting perubahan bagi kohesi erat hubungan kepolisian dengan masyarakat. Polri harus dapat menunjukan para pengkritik pelaksanaan lomba mural bahwa sinergi seniman mural pun dapat diperoleh dengan menampung aspirasi-aspirasi dan talenta mereka.
Semoga usaha ini nantinya dapat dikembangkan menjadi suatu tradisi untuk menjembatani kesamaan persepsi atas isu-isu penting lainnya. Misalnya, bagaimana dapat menghasilkan mural-mural bertema pemolisian masyarakat yang memberikan edukasi dan pembelajaran masyarakat, terutama di tingkat polres atau polsek yang selama ini garda terdepan yang paling menantang.
Baca juga : Hilangkan Stigma ‘Hilang Kambing, Lapor Polri Hilang Sapi’
(Isk – dari berbagai sumber)