Jakarta – Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengumumkan rencana pengajuan gugatan class action terhadap pemerintah dan manajemen PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang dinilai ilegal. Gugatan ini akan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bentuk perlawanan hukum terhadap kebijakan PHK yang dianggap tidak sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan.
Presiden KSPI sekaligus Ketua Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa langkah hukum ini merupakan citizen lawsuit atau perlawanan warga negara terhadap negara. Gugatan ditujukan kepada Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian, Menteri Ketenagakerjaan, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Investasi, serta pimpinan perusahaan Sritex.
“Kami akan menggugat mereka sebagai tergugat. Kami akan mengungkap seluruh fakta terkait kasus Sritex. Dalam satu minggu hingga sepuluh hari ke depan, kami akan membentuk tim hukum dan memasukkan gugatan tersebut,” ujar Iqbal dalam konferensi pers, Minggu (2/3/2025).
Aksi Demonstrasi
Selain gugatan class action, serikat buruh juga berencana menggelar aksi besar-besaran. Iqbal menyatakan bahwa aksi pertama akan berlangsung pada Rabu, 5 Maret 2025, di Istana Negara dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), dengan diikuti ribuan buruh.
“Demi pemerintahan yang bersih, kami akan melakukan demonstrasi. Ada permainan yang dilakukan oleh kelompok tertentu, termasuk pengusaha yang tidak bertanggung jawab, yang membiarkan PHK ini terjadi tanpa tindakan dari pemerintah,” tegas Iqbal.
Aksi serupa juga akan digelar di Semarang pada hari yang sama oleh KSPI dan Partai Buruh setempat.
Pembentukan Satgas Sritex
Partai Buruh dan KSPI juga berencana membentuk Satgas Sritex untuk menjaga aset perusahaan secara sukarela. Satgas ini akan mengawasi keluar masuknya aset dari perusahaan.
“Kurator menyebut bahwa selama barang sulit dijual, pabrik akan disewa. Ini menunjukkan ada upaya memperlambat penjualan untuk kepentingan tertentu. Jika pabrik disewa oleh pihak lain, maka karyawan tetap yang di-PHK bisa saja digantikan pekerja outsourcing, yang jelas melanggar undang-undang,” papar Iqbal.
Posko Advokasi Buruh Sritex
KSPI dan Partai Buruh akan mendirikan posko advokasi di depan pabrik Sritex. Posko ini akan menjadi wadah bagi pekerja yang menolak PHK serta menuntut hak-hak mereka, termasuk pesangon dan tunjangan hari raya (THR).
“Saya yakin THR tidak akan dibayarkan atau akan dipotong dari pesangon,” tambahnya.
PHK Sritex Dinilai Ilegal
Per 1 Maret 2025, sebanyak 8.400 karyawan Sritex resmi berhenti bekerja. Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Sumarno, mengungkapkan bahwa karyawan diberhentikan per 26 Februari 2025, dengan hari terakhir bekerja pada 28 Februari 2025. Perusahaan mulai ditutup pada 1 Maret 2025.
Presiden KSPI, Said Iqbal, menilai PHK tersebut ilegal karena bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 68 Tahun 2024 dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Partai Buruh dan KSPI menegaskan bahwa terjadi pelanggaran hukum dalam kasus ini. Pemerintah, termasuk Menteri Ketenagakerjaan, Menko Perekonomian, dan Menteri Perindustrian, membiarkan terjadinya PHK ini yang berdampak pada ribuan pekerja dan usaha kecil yang terkait dengan Sritex,” ujar Iqbal.
Tidak Melalui Mekanisme Bipartit dan Tripartit
Iqbal menyoroti bahwa PHK ribuan karyawan Sritex tidak didahului mekanisme bipartit maupun tripartit dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo.
“Dalam keputusan MK, proses PHK harus diawali dengan perundingan bipartit yang memiliki notulen. Apakah ada notulen perundingan antara serikat pekerja Sritex dan pimpinan perusahaan? Yang terjadi adalah karyawan secara individual mendaftar untuk PHK. Jika benar demikian, ini menunjukkan adanya intimidasi atau ketidaktahuan karyawan terhadap mekanisme PHK yang seharusnya berlaku,” jelas Iqbal.
Ia menegaskan bahwa notulen perundingan bipartit harus memuat penyebab PHK, kondisi keuangan perusahaan, hak-hak karyawan, nilai pesangon, dan siapa yang bertanggung jawab membayarnya, apakah kurator atau manajemen perusahaan. Tanpa prosedur ini, PHK yang terjadi di Sritex dinilai cacat hukum.
Baca Juga : Jelang Ramadhan, Penjual Bunga TPU Karet Bivak Raup Untung Besar